Thursday, March 15, 2007

Mbah Uti Telah Pergi Untuk Selamanya...

Pagi dini hari tadi sekitar jam 4 saya mendapatkan kabar dari Indonesia bahwa Mbah Uti telah kembali ke Rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun...semoga Mbah Uti diberikan tempat yang terbaik oleh Allah SWT., diterima semua amal ibadahnya dan diampuni segala dosa dan kesalahan semasa hidupnya.

Semalam saya memang mendapat sms dari adik saya di Pati bahwa Mbak Uti sakit keras dan dibawa ke RSU Kudus, kondisinya sudah cukup parah, sehingga Bapak dan Bulik2 yang di Pati pada pergi ke Kudus semalam. Memang selama ini Mbah Uti yang usianya sekitar 70 tahun sering sakit2an tapi masih suka jalan2 sendiri dari Kudus ke Pati bolak-balik minimal sebulan sekali saat ambil uang pensiun di kantor pos Pati. Secara lahiriah sebenarnya beliau masih sehat, tapi fisiknya sudah kurang mendukung.
Menyesal juga saya pas pulang terakhir bulan lalu belum sempat ketemu beliau. Selamat jalan Mbah Uti...semoga nantinya bisa ketemu dengan Mbah Kakung di pintu surga...

Kumamoto, 15 Maret 2007

Nur H.

In Memoriam Prof. Totok Darijanto


Hari Ahad, tanggal 18 Desember 2005, kami segenap sivitas akademik Departemen Teknik Pertambangan ITB berduka cita. Salah seorang keluarga, bapak, sahabat, dan kakak kami yang selalu ceria dan sering menjadi obat di kala duka telah meninggalkan kami untuk selamanya, Prof. Totok Darijanto.

Seorang pejuang sejati dalam dunia eksplorasi tambang yang lahir pada tanggal 18 Mei 1953 ini telah lebih dari 25 tahun mengabdi menjadi seorang guru yang selalu meninggalkan kenangan manis di setiap orang yang kenal dengan beliau. 1972, ITB telah menerima seorang mahasiswa yang kelak akan menjadi salah seorang pejuang yang ikut membawa nama harum ITB. Sebuah kebanggaan besar bagi kami semua pernah mengenal pribadi beliau dan pernah menyebut nama kami semua saat bertemu sapa.

Seorang yang haus akan ilmu yang selalu meningkatkan kemampuan dirinya yang dibuktikannya dengan menyelesaikan pendidikan doktornya di Bidang Mineralogi, Doktor der Naturwissenschaften (Dr.rer.nat), Rheinisch Westfaellische Technische Hochschule Aachen, Jerman, 1986. Tidak berhenti di situ saja, berbagai penelitian dan publikasi yang lahir dari ide dan pemikiran ilmiah telah beliau sajikan dengan ikhlas untuk bangsa dan negara. Hingga akhir hayatnya tercatat lebih dari empat puluh penelitian dan publikasi yang telah beliau lakukan (lihat daftar penelitian dan publikasi). Dedikasi terhadap profesinya telah mengantarkan beliau untuk memperoleh jabatan sebagai Guru Besar Teknik Pertambangan pada tanggal 1 Juni 2005.

Seorang tokoh yang banyak dikenal masyarakat luas ini banyak mencurahkan waktu, pemikiran, dan tenaga sebagai wujud pengabdian beliau kepada masyarakat. Berbagai macam penelitian kerjasama yang beliau kerjakan membawa peningkatan kualitas bukan hanya bagi dunia pendidikan, tetapi juga dunia swasta, pemerintah, dan masyarakat umum merasakannya. Tercatat lebih dari seratus kegiatan pengabdian masyarakat yang telah beliau ikuti. Kontribusi beliau tidak hanya bagi dunia pertambangan melainkan juga dapat dirasakan oleh bidang lain antara lain material science, lingkungan hidup, dan bidang sosial-ekonomi. Wangi harum nama beliau tercium jauh hampir ke seluruh pelosok nusantara.

Seorang mahaguru yang disegani tapi bukan ditakuti yang penuh dengan dedikasi untuk membuat pintar dan mendorong mahasiswa untuk selalu kreatif. “Saya lebih suka mahasiswa kreatif daripada yang pintar,” begitu mahasiswa pernah mendengar dari ucapan beliau. Senyum khas selalu keluar dari bibirnya sebagai pembuka di setiap kelas akan dimulai. “Kemana si A, kok tidak datang?” hampir selalu keluar ketika beliau merasa ada seorang mahasiswanya yang tidak hadir di kelasnya. Dedikasi beliau dalam pengajaran menjadikan beliau seorang dosen teladan se-ITB pada tahun 1988. Nama beliau terukir indah di banyak tugas akhir, tesis, dan disertasi sebagai penghormatan atas bimbingan dan perhatian beliau.

Selasa pagi tanggal 13 Desember 2005 pukul 09.00 beliau mengawali kuliah Geostatistik di ruang 9214 GKU Timur seperti biasanya. Tidak dirasakan olehnya atau mungkin sengaja tidak dihiraukannya rasa sakit pada hari itu. Semangat beliau untuk terus memberikan perkuliahan saat itu dapat terbaca oleh setiap mahasiswa di kelas. Saat itu, keluarga, sahabat, pejuang, tokoh, dan mahaguru kami jatuh di depan kelas menahan rasa sakit hingga akhirnya tidak sadarkan diri. Beliau dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif. Duka yang mendalam, rasa cemas, dan kekagetan terpancar dari setiap wajah orang yang menjenguk beliau. Enam hari beliau berjuang melawan stroke walaupun secara fisik dari sudut pandang medis sudah tidak mungkin untuk bertahan. Ratusan orang berusaha terus mendampingi beliau di saat-saat kritis, ratusan dan mungkin ribuan SMS bergantian menanyakan kondisi beliau. Hingga akhirnya hari Ahad, 18 Desember 2005, pukul 23.45 beliau dipanggil ke haribaan Allah SWT.

Semua dari berbagai kalangan menundukkan kepala, memberikan penghormatan terakhir seraya mengiringi dengan doa, semoga almarhum dapat diterima di sisi Allah SWT sebagai seorang syuhada. Dapat terbaca pada hari itu hampir setiap orang ingin ikut menggotong jenazah beliau hingga ke pemakaman sebagai wujud rasa terima kasih terakhir atas semua budi baik beliau yang patut diteladani. Hari itu langit teduh seolah-olah ikut memayungi prosesi pemakaman beliau di Pemakaman Keluarga ITB Cibarunai, Sarijadi, Bandung.

Semoga Allah SWT mengampuni semua dosanya, menyinari dan melapangkan kuburnya, membalas semua amal kebaikannya termasuk amal jariyyah atas ilmu-ilmu yang telah beliau sebarkan melalui murid-muridnya. Ya Allah, terimalah beliau di sisi-Mu yang paling mulia….. amin....

Selamat jalan pahlawan kami…… semoga kami bisa meneruskan cita-cita muliamu.

Bandung, 19 Desember 2005

Wednesday, March 14, 2007

Polisi juga Manusia Kok...

Dalam beberapa pekan ini saja sudah ada tiga peristiwa beruntun dimana polisi menyalahgunakan senjatanya untuk membunuh dan tragisnya semua pelaku juga tewas tertembak. Dimulai dari seorang polisi di daerah Madura yang menembak istri, mertua, dan dua teman laki2 istrinya dengan motif cemburu karena istrinya dicurigai melakukan selingkuh. Setelah menghabisi korban2nya, pelaku kemudian menembak dirinya sendiri hingga tewas.

Kejadian kedua melibatkan seorang polisi di Polwiltabes Bandung yang diduga salah perhitungan dalam memainkan pistolnya, sehingga lehernya tertembus peluru hingga tewas. Motif peristiwa ini masih belum jelas, tapi kemungkinan besar bunuh diri mengingat alasan yang dikemukan saksi selama ini, mengenai ketidaksengajaan dalam memainkan pistolnya, agak kurang masuk di akal sehat. Tidak mungkin seorang yang `waras` mengarahkan pistol ke lehernya sendiri.

Terus peristiwa yang terjadi pagi tadi di kantor Polwiltabes Semarang, dimana seorang provost menembak sampai tewas atasannya sendiri yang notabebe adalah Wakapolwiltabes Semarang sendiri sungguh sangat mengejutkan berbagai pihak. Pelaku kemudian juga tewas karena ditembak oleh petugas resmob. Motifnya masih diselidiki, tapi kemungkinan karena dendam mengingat ada isue bahwa pelaku akan dimutasi ke daerah lain.

Kita perlu perpikir sejenak kenapa hal2 seperti ini sampai terjadi. Sudah begitu parahkan mental2 sebagian anggota polisi kita sampai melakukan hal2 yang sebenarnya bertentangan dengan moral dan hukum. Seorang pakar kejiwaan mengatakan bahwa pada dasarnya seorang polisi juga sama halnya dengan seorang rakyat biasa yang bisa mengalami stres dan depresi. Tugas polisi yang cukup banyak, beragam, dan berat, apalagi hanya ditunjang dengan penghasilan yang pas2an seperti halnya PNS membuat polisi mudah untuk mengalami depresi. Belum lagi polisi banyak dikecam disana-sini oleh masyarakat. Dikarenakan polisi memiliki bekal senjata, maka kapan saja senjata tsb. bisa dijadikan alat pembunuh. Sebagaimana jika rakyat biasa melakukannya dengan senjata tajam biasa. Jadi kesimpulannya polisi juga manusia...maksudnya polisi juga sama dengan rakyat biasa...

Kalau sudah begini siapa yang harus bertanggung jawab? Jawabnya jelas pemerintah...karena pemerintahlah yang bertanggung jawab untuk membuat rakyatnya hidup sejahtera. Kalau banyak rakyat yang mengalami depresi misalnya dikarenan faktor ekonomi, kemudian mereka gelap mata dan melakukan pembunuhan atau bunuh diri, seperti halnya yang dilakukan oleh seorang ibu yang meracuni dirinya sendiri dan empat orang anaknya hingga tewas di Kota Malang,...maka pemerintahlah yang mestinya bertanggung jawab baik di dunia ini maupun di akherat kelak. Makanya siapa suruh jadi pemimpin...

Kumamoto, 14 Maret 2007

Nur H.

Saturday, March 10, 2007

Misteri Candi Borobudur...Ceplok Teratai di Danau Purba

Itulah kenapa Candi Borobudur terlihat seperti teratai yang sedang mekar kalau dilihat dari atas, ternyata sejarahnya cukup panjang dan pembangunan candi terbesar di Indonesia tsb. mengandung makna filosofis yang cukup mendalam. Silahkan simak sebuah artikel yang pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat tgl. 6 Februari 2007 berikut ini. Mudah-mudahan kelak candi tsb. dapat masuk ke dalam daftar 7 keajaiban dunia...

-------------------------------------------------------------------------

BOLEH percaya, boleh tidak: Candi Borobudur ternyata dibangun di atas sebuah danau purba. Dulu, kawasan tersebut merupakan muara dari berbagai aliran sungai. Karena tertimbun endapan lahar kemudian menjadi dataran. Pada akhir abad ke VIII, Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra lantas membangun Candi Borobudur, dipimpin arsitek bernama Gunadharma, selesai tahun 746 Saka atau 824 Masehi.

Hasil kajian geologi yang dilakukan Ir Helmy Murwanto MSc, Ir Sutarto MT dan Dr Sutanto dari Geologi UPN ‘Veteran’ serta Prof Sutikno dari Geografi UGM membuktikan, keberadaan danau di kawasan Candi Borobudur memang benar adanya. Penelitian itu dilakukan sejak 1996 dan masih berlanjut sampai sekarang. Bahkan, tahun 2005, penelitian tentang keberadaan danau purba itu oleh Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Jawa Tengah, CV Cipta Karya dan Studio Audio Visual Puskat, dibuat film dokumenter ilmiah dengan judul ‘Borobudur Teratai di Tengah Danau’.

Hipotesa kawasan Candi Borobudur merupakan danau, pertama dikemukakan seniman-arsitek Belanda, Nieuwenkamp, tahun 1930. Dalam bukunya berjudul ‘Fiet Borobudur Meer’ (Danau Borobudur), dikemukakan, Candi Borobudur diimajinasikan sebagai Ceplok Bunga Teratai di tengah kolam. Kolam tersebut berupa danau. Karena morfologi di sekitarnya dikelilingi pegunungan Menoreh dan gunung api.”

Tapi hipotesa itu dianggap ilusi belaka oleh Van Erp, yang memimpin pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1907-1911. Bahkan dianggap sebagai pendapat yang ngayawara, karena tidak didukung bukti-bukti kuat seperti prasasti tentang adanya danau di kawasan itu,” kata Helmy kepada KR di Laboratorium Mineralogi dan Petrologi UPN ‘Veteran’ Yogya.

Hipotesa itu pada akhirnya menarik perhatian para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Tak terkecuali Helmy dan kawan-kawan. Sebagai orang geologi yang berasal dari Muntilan, Helmy merasa tertantang untuk melakukan penelitian serupa sejak 1996. ”Yang kita teliti adalah endapan lempung hitam yang ada di dasar sungai sekitar Candi Borobudur yaitu Sungai Sileng, Sungai Progo dan Sungai Elo,” katanya.

Setelah mengambil sampel lempung hitam dan melakukan analisa laboratorium, ternyata lempung hitam banyak mengandung serbuk sari dari tanaman komunitas rawa atau danau. Antara lain Commelina, Cyperaceae, Nymphaea stellata, Hydrocharis. ”Istilah populernya tanaman teratai, rumput air dan paku-pakuan yang mengendap di danau saat itu,” katanya.

Penelitian itu terus berlanjut. Selain lempung hitam, fosil kayu juga dianalisa dengan radio karbon C14. Dari analisa itu diketahui endapan lempung hitam bagian atas berumur 660 tahun. Tahun 2001, Helmy melakukan pengeboran lempung hitam pada kedalaman 40 meter. Setelah dianalisis dengan radio karbon C14 diketahui lempung hitam itu berumur 22 ribu tahun. ”Jadi kesimpulannya, danau itu sudah ada sejak 22 ribu tahun lalu, jauh sebelum Candi Borobudur dibangun, kemudian berakhir di akhir abad ke XIII,” katanya.

Kenapa berakhir, kata Helmy, karena lingkungan danau merupakan muara dari beberapa sungai yang berasal dari gunung api aktif, seperti Sungai Pabelan dari Gunung Merapi, Sungai Elo dari Gunung Merbabu, Sungai Progo dari Gunung Sumbing dan Sindoro. Sungai itu membawa endapan lahar yang lambat laun bermuara dan menimbun danau. Sehingga danau makin dangkal, makin sempit kemudian diikuti dengan endapan lahar Gunung Merapi pada abad XI. Lambat laun danau menjadi kering tertimbun endapan lahar dan berubah menjadi dataran Borobudur seperti sekarang.

Menurut Helmy, pada saat dilakukan pengeboran, endapan danaunya banyak mengeluarkan gas dan air asin. ”Tapi lambat laun tekanannya berkurang, dan sekarang kita pakai sebagai monumen saja,” katanya.

Ditargetkan, pada penelitian berikutnya akan diteliti luasan danau kaitannya dengan sejarah perkembangan lingkungan Borobudur dari waktu ke waktu, mulai air laut masuk sampai laut tertutup sehingga berkembang menjadi danau, kemudian danau menjadi rawa dan menjadi dataran. (Isnawan)-z

Friday, March 09, 2007

Setelah Garuda Terbakar di Yogya, Lalu Mau Apalagi?

Kenapa budaya malu dan mohon maaf hanya tampak sebagai sebuah angan2 belaka di negeri ini. Kecelakaan2 di bidang transportasi yang sering terjadi akhir2 ini sepertinya tidak mengubah sama sekali hati nurani pihak2 yang berwenang. Sebuah tajuk rencana dari Harian Suara Merdeka tgl. 9 Maret 2007 mengulas ttg bentuk tanggung jawab yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah selaku regulator dan pengusaha selaku operator. Negeri ini seharusnya banyak belajar dari saudara tuanya, Jepang...

-----------------------------------------------------------

Indonesia kembali berduka. Pesawat Garuda terbakar di Yogya dengan menelan korban yang tidak sedikit. Sekali lagi, apakah kita mau bilang, ini sebuah kejadian biasa saja ! Ya, kecelakaan biasa, dan bisa terjadi di mana dan kapan saja, serta bisa menimpa siapa pun dia. Dilanjutkan, mau bilang apa jika kecelakaan itu terjadi karena memang harus terjadi dan kita harus tabah menerima cobaan. Ilustrasi kalimat seperti ini biasanya menjadi bahasa pemaaf atas terjadinya sesuatu yang di luar kehendak dan kemampuan manusia untuk mengendalikan. Padahal yang terjadi sebenarnya oleh tidak baiknya manusia dalam merencanakan, mengelola dan mengendalikan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya.

Kecelakaan pesawat udara, kapal laut dan kereta api berulang-ulang terjadi seolah tanpa jeda. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus menerus menggunakan bahasa pemaaf bahwa semua itu di luar kemampuan manusia mengendalikan ? Bukankah lahir, jodoh dan mati itu bukan urusan manusia ? Betapa menyedihkan manakala hal seperti ini terus menjadi acuan kehidupan, dan terus menerus menyalahkan ''pihak lain'' yang dalam hal ini seolah-olah Tuhan menjadi pihak yang bertanggung jawab. Padahal yang terjadi sebenarnya, semua berawal dari kecerobohan dan kebodohan manusia, dan karena itu mudah sekali lempar tanggung jawab.

Persoalan tanggung jawab itulah yang ingin kita mintakan perhatian di kolom ini. Kenapa ? Sekecil apa pun jabatan itu, apakah menjabat sebagai tukang sapu, tukang parkir, kepala rumah atau ibu tangga, staf ataukah pimpinan, mantri dan juga menteri selalu memikul tanggungjawab. Setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Demikian juga, sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hari terakhir kelak. Nah, tanggung jawab bersifat total menyangkut seluruh perbuatan/perilaku benar dan salah, baik atau pun buruk. Bukan saat baik menepuk dada, dan di saat buruk lempar tanggung jawab.

Garuda terbakar dan menelan korban. Siapa yang bertanggung jawab ? Jelas maskapai tersebut. Siapa yang mengendalikan maskapai ? Ya direktur utamanya. Ukuran mampu dalam manajemen manakala jika semua pekerjaan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, aktivitas dan pengendalian berlangsung teratur dan baik. Lalu semua itu diterjemahkan ke dalam bahasa produktivitas kinerja. Memang tidak ada satu pun pasal dalam peraturan perusahaan yang manakala terjadi kecelakaan pesawat, direktur utamanya harus mengundurkan diri. Tetapi, sebagai bentuk pertanggungjawaban publik karena maskapai itu telah menewaskan sejumlah penumpang, maka sebaiknya dia mundur.

Menteri Perhubungan Hatta Rajasa seharusnya juga demikian. Merasa bahwa yang menjadi bidang tanggung jawabnya tidak berjalan dengan baik, bahkan semua jenis transportasi terlalu banyak makan korban, seharusnya dengan rela hati menanggalkan jabatan itu dengan gagah. Kenapa ? Karena hasil pekerjaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Tetapi dengan mengembalikan persoalan mundur atau tidak sebagai urusan presiden, maka sebenarnya Hatta Rajasa tidak merasa bahwa jabatan sebagai Menteri Perhubungan itu sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Jika ini yang terjadi, maka menteri tidak meringankan pekerjaan presiden, tetapi yang terjadi sebaliknya.

Persoalan mundur itu tidak seharusnya disangkutkan kepada hal-hal yang bersifat politis, terutama menyangkut siapa Hatta Rajasa, dari mana datangnya dan berapa jumlah barisan pendukungnya. Tetapi semata-mata dikaitkan dengan tingkat keahliannya dalam mengelola departemen yang sangat vital dan besar. Apalagi, Departemen Perhubungan sebenarnya mengawal nasib jutaan manusia yang menggunakan berbagai moda transportasi setiap detik, setiap menit dan setiap harinya. Durung gedhe yen durung wani salah. Artinya, belum gagah jika tidak berani mengakui kesalahan. Inilah yang barangkali perlu diingatkan terhadap mereka yang gagal menjadi pimpinan.

Thursday, March 08, 2007

Ketika Pesawat Garuda pun Ikut-ikutan Terbakar

Tahun 2007 ini tampaknya akan menjadi tahun kelabu bagi dunia transportasi Indonesia. Maskapai penerbangan yang dianggap paling aman di Indonesia pun tak luput dari musibah yang merenggut korban jiwa hingga 22 orang. Semua pejabat dan pihak2 yang berwenang harus mawas diri dan melakukan koreksi atas semua kejadian ini untuk menghindari jumlah korban yang selalu berjatuhan setiap saat. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh regulator dan operator dalam hal ini? Simaklah sebuah Tajuk Rencana dari Harian Suara Merdeka tgl. 8 Maret 2007 berikut ini.

----------------------------------------------------------------------

Musibah kecelakaan transportasi seperti tiada habisnya. Datang secara beruntun baik di darat, laut maupun udara. Sekarang giliran pesawat Boeing 737-400 milik Garuda yang kemarin pagi terbakar di Bandara Adi Sucipto Yogya. Pesawat dengan nomor penerbangan GA 200 terbang dari Jakarta itu terbakar setelah mendarat sehingga menewaskan puluhan orang. Diperkirakan pesawat mengalami overshoot ketika mendarat namun beberapa saksi mata menyebutkan percikan api dan asap sudah nampak sebelumnya. Penumpang yang selamat pun mengaku sejak terbang dari Jakarta terjadi beberapa kali guncangan.

Selama ini dengan banyaknya kecelakaan pesawat terbang yang dialami Adam Air, Mandala dan Lion Air orang berpikir naik Garudalah yang paling aman. Kenyataannya pesawat itu pun mengalami musibah yang mengenaskan. Kalau dilihat kondisi pesawat ketika terbakar masih sangat beruntung 112 orang berhasil diselamatkan. Kecelakaan pesawat dan sarana transportasi lain seperti kapal laut terjadi juga di negara lain tetapi hanya Indonesia rasanya yang mengalaminya secara beruntun dan dalam jarak waktu yang sangat pendek. Seakan-akan kita ini tidak mampu mengatasi masalah dan masih terus main-main dengan keselamatan.

Biasanya semua bermuara pada tuntutan mundur menteri perhubungan. Bisa saja itu dilakukan sebagai bagian dari upaya menuntut tanggung jawab pemerintah. Di negara seperti Jepang, menteri mundur tidak harus diminta melainkan kesadarannya sendiri. Tetapi harus diakui persoalannya bukan ada di sana dalam arti bisa diselesaikan dengan mundur atau tidaknya seorang menteri. Juga bukan hanya dengan mengganti pejabat-pejabat eselon I di Departemen Perhubungan meskipun hal itu juga tidak salah bila dilakukan. Keselamatan transportasi sebenarnya menyangkut tiga pilar yakni regulator, operator, dan masyarakat luas.

Banyak kecelakaan terjadi, termasuk terbakarnya pesawat Garuda, lebih karena faktor kesalahan manusia atau mismanagement. Apa yang terjadi kemarin itu pun bukan karena faktor buruknya cuaca. Lalu apa? Tentu itu yang harus diselidiki dan kita menunggu keterangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Semua perlu dikaji secara lebih cermat untuk menemukan akar persoalan dan di mana titik lemahnya. Apakah pada fungsi regulator, operator ataukah juga masyarakat sendiri yang tidak berdisiplin. Dari segi peraturan tampaknya sudah cukup banyak dan detil. Sayang biasanya kurang ada pengawasan di lapangan.
Tanggung jawab operator dalam bisnis penerbangan tampaknya lebih merupakan faktor kuat dalam hal ini. Bagaimana perusahaan penerbangan melakukan penataan manajemen termasuk melakukan pengawasan internal dalam segala aspek yang menyangkut keselamatan di tengah era kompetisi yang menuntut efisiensi tinggi? Maka betapa pun jelas aturannya, apa artinya kalau kemudian dilanggar karena longgarnya pengawasan. Baik karena disengaja atau karena faktor kelalaian. Disengaja dengan motif keuntungan dan bukan semata-mata efisensi atau petugas yang lalai, Itu pun tanggung jawab manajemen dalam mengelola.

Ketika akhirnya pesawat Garuda pun terbakar rasanya semakin tipis harapan kita terhadap bisnis penerbangan di negeri ini. Bayangkan kalau Garuda saja mengalami nasib seperti itu bagaimana dengan yang lain. Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah penting terutama menemukan masalah sekaligus solusinya agar kepercayaan masyarakat bisa dikembalikan. Juga citra kita di mata internasional. Mengurus transportasi saja tidak becus apalagi mengurus yang lain. Benar-benar menyedihkan dan memrihatinkan. Yang penting segera dilakukan mencegah terjadinya lagi kecelakaan walau faktor nasib selalu ada.

Wednesday, March 07, 2007

Kenapa Bangsa ini Begitu Mudah Mempermalukan Diri?

Bencana dan musibah yang datang bertubi2 di Indonesia sejak awal tahun 2007 ini merupakan tanda tanya bagi siapapun juga yang mengetahuinya. Apa sebenarnya yang terjadi di Indonesia ini? Sebuah kutukan atau ujian dari Tuhan? Hal ini lebih condong kepada kutukan daripada cobaan atau ujian karena kejadiannya beraneka ragam dan tampak beruntun. Wahai para pejabat, wakil rakyat, pengusaha, artis, rakyat biasa, dll. sadarkah apa yang telah kalian lakukan selama ini menjadikan Tuhan marah pada kita? Bertaubatlah dan kembalilah ke jalan yang lurus, jalan yang diridhoi-Nya. Sebuah tajuk rencana dari Harian Suara Merdeka tgl. 7 Maret 2007 mengulas sikap yang sebaiknya diambil dalam menghadapi berbagai kejadian ini.

--------------------------------------------------------------------------

Entah kena kutukan macam apa bangsa ini menjadi begitu sarat dengan persoalan dan bencana. Satu persoalan belum selesai, muncul masalah yang lain. Bencana satu belum dituntaskan pertolongannya, sudah muncul bencana yang lain. Di semua wilayah tanah air seolah tidak pernah sepi dari bencana, dari Aceh sampai Papua. Hampir semua jenis bencana dan penyakit juga ada. Ada demam berdarah yang tak kunjung reda, flu burung yang makin merajalela, HIV-AIDS yang makin merambah sampai ke pelosok hutan Papua, kaki gajah di berbagai pedesaan, dan berbagai penyakit lain. Seolah berbagai penyakit itu muncul ke permukaan membesar dan menerjang tanpa ampun.

Di sisi bencana lain, ada banjir tanpa ampun di Jakarta, angin puting beliung melalap dan merangsek masuk perkotaan dengan menelan korban tidak sedikit, pohon dan rumah bertumbangan. Tanah longsor juga menerjang tanpa pilih kasih. Banjir lumpur di Porong juga belum jelas kapan mampatnya. Kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, kereta api, kecelakaan di jalan raya saling bergantian terjadi. Sebuah episode menyedihkan telah menerpa bangsa ini dalam kurun waktu 2 tahun terakhir. Hampir semua jenis bencana terjadi di sini dengan menelan korban manusia dan harta benda yang tidak sedikit. Apakah hal seperti ini merupakan kejadian yang biasa ?

Sedangkan dilihat dari perilaku masyarakat juga menunjukkan terjadi degradasi moral yang luar biasa. Korupsi terjadi di mana-mana, penyunatan bantuan untuk masyarakat miskin tetap berlangsung, perilaku sebagian pejabat dan para politisi yang semakin menjauh dari etika dan moral, dan sebagainya. Terakhir dari dunia olahraga, wilayah yang selama ini sarat dengan sportivitas juga mulai tercermar. Kasus pertarungan antara Chrisjon melawan Rojas yang dibayar dengan cek kosong oleh promotor, sungguh sebuah perilaku yang sangat memalukan. Kenapa mereka yang kita sebut sebagai tokoh tidak henti-hentinya mempermalukan diri sendiri.

Dalam bidang olahraga kita menyaksikan episode kekerasan yang tak pernah henti. Tawur antarsuporter, perusakan stadion, pelemparan botol, batu dan kembang api terhadap para pemain terus terjadi. Tawur antarkampung juga belum mereda di berbagai daerah, konflik di Poso, Ambon, dan beberapa daerah lain masih juga belum berakhir. Tampaknya bencana dan perilaku manusianya menunjukkan adanya korelasi. Bahkan jika ditafsirkan lebih jauh, kisah yang terjadi di zaman para nabi seolah hadir kembali di depan mata kita sekarang ini. Setiap masalah yang muncul seolah tanpa solusi, seperti dalam kasus lumpur Porong yang akhirnya mendorong para korban memblokir jalan.

Sangat terasakan sekarang terjadi kemerosotan moral dan etika di setiap lini kehidupan masyarakat. Tak ada lagi sesuatu yang kita miliki begitu membanggakan. Kita punya hutan habis terjarah, pulau habis ditambang pasirnya, minyak telah habis terkuras, sampai akhirnya air yang harusnya menjadi sumber kehidupan berubah menjadi sumber bencana. Begitu pula dengan berbagai profesi, tak ada lagi yang bisa hadir sebagai pilihan yang membanggakan apakah itu guru, wartawan, hakim, jaksa, polisi, politisi, ulama, birokrat, pengusaha dan sebagainya. Seolah semuanya telah tercoreng oleh tindakan mempermalukan diri sendiri yang tiada henti itu.

Dalam situasi seperti ini, pernahkah di antara kita yang berpikir untuk melakukan pertaubatan nasional. Semua warga bangsa yang merasa masih punya hati dan Tuhan melakukan koreksi diri secara total, menanyakan pada hati nurani tentang perbuatan buruk apa yang telah dilakukan. Setelah itu, bertobat untuk pindah kwadran menuju kepada perilaku yang lebih baik dari sebelumnya. Kesadaran untuk taubat ini harus datang dari pemimpin nasional yang dalam hal ini adalah presiden. Terhadap keadaan seperti ini kita mesti pasrah kepada Tuhan. Pasrah bukanlah putus asa.