Friday, March 09, 2007

Setelah Garuda Terbakar di Yogya, Lalu Mau Apalagi?

Kenapa budaya malu dan mohon maaf hanya tampak sebagai sebuah angan2 belaka di negeri ini. Kecelakaan2 di bidang transportasi yang sering terjadi akhir2 ini sepertinya tidak mengubah sama sekali hati nurani pihak2 yang berwenang. Sebuah tajuk rencana dari Harian Suara Merdeka tgl. 9 Maret 2007 mengulas ttg bentuk tanggung jawab yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah selaku regulator dan pengusaha selaku operator. Negeri ini seharusnya banyak belajar dari saudara tuanya, Jepang...

-----------------------------------------------------------

Indonesia kembali berduka. Pesawat Garuda terbakar di Yogya dengan menelan korban yang tidak sedikit. Sekali lagi, apakah kita mau bilang, ini sebuah kejadian biasa saja ! Ya, kecelakaan biasa, dan bisa terjadi di mana dan kapan saja, serta bisa menimpa siapa pun dia. Dilanjutkan, mau bilang apa jika kecelakaan itu terjadi karena memang harus terjadi dan kita harus tabah menerima cobaan. Ilustrasi kalimat seperti ini biasanya menjadi bahasa pemaaf atas terjadinya sesuatu yang di luar kehendak dan kemampuan manusia untuk mengendalikan. Padahal yang terjadi sebenarnya oleh tidak baiknya manusia dalam merencanakan, mengelola dan mengendalikan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya.

Kecelakaan pesawat udara, kapal laut dan kereta api berulang-ulang terjadi seolah tanpa jeda. Pertanyaannya adalah, apakah kita akan terus menerus menggunakan bahasa pemaaf bahwa semua itu di luar kemampuan manusia mengendalikan ? Bukankah lahir, jodoh dan mati itu bukan urusan manusia ? Betapa menyedihkan manakala hal seperti ini terus menjadi acuan kehidupan, dan terus menerus menyalahkan ''pihak lain'' yang dalam hal ini seolah-olah Tuhan menjadi pihak yang bertanggung jawab. Padahal yang terjadi sebenarnya, semua berawal dari kecerobohan dan kebodohan manusia, dan karena itu mudah sekali lempar tanggung jawab.

Persoalan tanggung jawab itulah yang ingin kita mintakan perhatian di kolom ini. Kenapa ? Sekecil apa pun jabatan itu, apakah menjabat sebagai tukang sapu, tukang parkir, kepala rumah atau ibu tangga, staf ataukah pimpinan, mantri dan juga menteri selalu memikul tanggungjawab. Setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Demikian juga, sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hari terakhir kelak. Nah, tanggung jawab bersifat total menyangkut seluruh perbuatan/perilaku benar dan salah, baik atau pun buruk. Bukan saat baik menepuk dada, dan di saat buruk lempar tanggung jawab.

Garuda terbakar dan menelan korban. Siapa yang bertanggung jawab ? Jelas maskapai tersebut. Siapa yang mengendalikan maskapai ? Ya direktur utamanya. Ukuran mampu dalam manajemen manakala jika semua pekerjaan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, aktivitas dan pengendalian berlangsung teratur dan baik. Lalu semua itu diterjemahkan ke dalam bahasa produktivitas kinerja. Memang tidak ada satu pun pasal dalam peraturan perusahaan yang manakala terjadi kecelakaan pesawat, direktur utamanya harus mengundurkan diri. Tetapi, sebagai bentuk pertanggungjawaban publik karena maskapai itu telah menewaskan sejumlah penumpang, maka sebaiknya dia mundur.

Menteri Perhubungan Hatta Rajasa seharusnya juga demikian. Merasa bahwa yang menjadi bidang tanggung jawabnya tidak berjalan dengan baik, bahkan semua jenis transportasi terlalu banyak makan korban, seharusnya dengan rela hati menanggalkan jabatan itu dengan gagah. Kenapa ? Karena hasil pekerjaannya tidak bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Tetapi dengan mengembalikan persoalan mundur atau tidak sebagai urusan presiden, maka sebenarnya Hatta Rajasa tidak merasa bahwa jabatan sebagai Menteri Perhubungan itu sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Jika ini yang terjadi, maka menteri tidak meringankan pekerjaan presiden, tetapi yang terjadi sebaliknya.

Persoalan mundur itu tidak seharusnya disangkutkan kepada hal-hal yang bersifat politis, terutama menyangkut siapa Hatta Rajasa, dari mana datangnya dan berapa jumlah barisan pendukungnya. Tetapi semata-mata dikaitkan dengan tingkat keahliannya dalam mengelola departemen yang sangat vital dan besar. Apalagi, Departemen Perhubungan sebenarnya mengawal nasib jutaan manusia yang menggunakan berbagai moda transportasi setiap detik, setiap menit dan setiap harinya. Durung gedhe yen durung wani salah. Artinya, belum gagah jika tidak berani mengakui kesalahan. Inilah yang barangkali perlu diingatkan terhadap mereka yang gagal menjadi pimpinan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home