Friday, October 27, 2006

Ilmuwan Rusia Tawarkan Solusi Hentikan Lumpur Sidoarjo (2)

Masih berkaitan dengan semburan lumpur panas Sidoarjo (LUSI). Berita Iptek dari harian Kompas online hari ini, Jumat tgl. 27 Oktober 2006 ttg usulan teknologi untuk mengatasi semburan Lusi yang ditawarkan seorang ahli eksplorasi pertambangan Indonesia bernama Pak Burhanuddin (60). Metode dan teknologi yang ditawarkan kelihatannya lebih sederhana daripada yang diusulkan Mr. Pavel. Tapi semua itu memang harus dibuktikan mana yang paling ampuh untuk menghentikan kegenitan si Lusi.

Barangkali tidak hanya Mr. Pavel dan Pak Buranuddin yang berusaha mengusulkan teknologi atau cara untuk menghentikan Lusi ke Pemerintah RI, namun barangkali Timnas punya berbagai alternatif cara atau strategi tersendiri untuk mengatasinya. Jadi kalau misalnya rencana atau strategi I gagal, maka akan digunakan rencana atau strategi II, dan selanjutnya. Lha yang namanya Timnas itu kan pasti terdiri dari orang2 pintar dan pilihan dalam bidangnya, masak kalah sama lumpur, malu dong...wait and see lah...

------------------------------------
Burhanuddin Saingi Pavel

Burhanuddin Rasyid (60), ahli eksplorasi pertambangan, menawarkan teknologi tandingan untuk segera menutup semburan lumpur di Sidoarjo Jawa Timur. Teknologi yang ditawarkannya jauh lebih murah dan efektif dibanding tawaran ilmuwan Pavel V Korol dari Rusia, yaitu teknologi tekanan beban dengan plat beton.

"Saya sudah mengajukan proposal saya ke Presiden, Menteri Pertambangan (ESDM), PT Lapindo, dan Pak Basuki (Ketua Tim Nasional Penanggulan Lumpur) tapi tidak ada tanggapan dari mereka," kata Burhanuddin Rasyid, Kamis (26/10) kepada Kompas di Jakarta.
Salah satu kesamaan pendekatan Burhanuddin dengan Pavel ialah anggapan yang sama bahwa luapan lumpur Sidoarjo bukanlah mud volcano, dan bukan perisiwa luar biasa.

Burhanuddin menjelaskan, teknologi yang ditawarkannya tidak menggunakan teknik pengeboran, melainkan penutupan kawasan tertentu di sekitar lubang semburan lumpur dengan file baja yang ditanam pada kedalaman tertentu. "Gampangnya, plat baja ini semacam pagar, yang mengitari lubang semburan, supaya semburan tidak ke mana-mana."

Selanjutnya, plat beton yang pinggirnya dibatasi plat baja tadi, diletakkan di atas lubang semburan. Guna menjaga agar semburan tidak menimbulkan letupan semburan, di atas plat betonitu dibuat dua saluran pipa untuk menyalurkan lumpur.

"Dengan teknik penutupan kran setahap demi setahap, sementara plat beton ditekan menutup lubang semburan lumpur, dengan sendirinya aliran lumpur akan terkendali. Dengan tekanan yang besar dari atas, maka dengan sendirinya lumpur secara bertahap akan mengering, atau beku," katanya.

Tahapan pekerjaan

Burhanuddin yang pernah bekerja di perusahaan pengeboran minyak Stanvac dan Caltex di sejumlah tempat menjelaskan, langkah yang ditawarkan adalah pengendalian lumpur di sekitar lubang semburan dengan membangun tanggul. Tanggul sekaligus berfungsi untuk pengoperasian alat berat. Menyiapkan file baja (pagar baja yang ditanam) di lingkaran dalam tanggul, untuk menahan lumpur dari luar agar tidak masuk, sedangkan lumpur yang ada di dalam dipompa keluar. "File baja ini untuk mencegah munculnya retakan-retakan semburan lumpur," katanya.

Selanjutnya tahap terakhir ialah memberikan tekanan besar pada lubang semburan lumpur dengan plat beton (berfungsi sebagai semacam penutup lubang semburan).
Tekanan pada lubang lumpur, diatur berseling dengan dua aliran pipa di atas plat beton. Secara bertahap, kran pipa ditutup seiring dengan tekanan plat beton yang makin diperbesar.

"Yang kami tahu, relief well yang sekarang dikerjakan oleh teknisi PT Lapindo itu akan sulit sekali. Sebab, cairan semen yang dimasukkan akan terdorong cairan panas lumpur. Kecuali, ada tekanan besar dari luar," katanya. (HRD)


Kumamoto, 27 Oktober 2006

Nur H.

Mengapa Masyarakat Kita Lebih Takut pada Sumanto daripada Koruptor Jahanam?


Tajuk rencana dari harian Suara Merdeka online hari ini tgl. 27 Oktober 2006. Topik yang cukup menarik untuk disimak bagi siapa saja. Kasus Sumanto memang cukup unik dan mungkin baru pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan di dunia barangkali. Diperkirakan si Sumanto memiliki kelainan jiwa bawaan yang mengakibatkan dia gemar makan daging manusia dan hewan2 melata lainnya.

Begitu bebas dari kurungan penjara di Lapas Purwokerto yang didiaminya sejak 5 tahun lalu, dia bertekad tidak akan lagi melakukan tindakan yang aneh2 begitu bebas. Tapi yang namanya masyarakat tetap saja masih merasa takut dan kuatir kalau2 Sumanto kumat lagi 'sakitnya'. Untuk itu sementara waktu dia akan menjalani 'rehabilitasi' di sebuah pondok pesantren di sekitar daerah situ juga (Jawa Tengah) sampai ia dinyatakan benar2 'sembuh'.

Tajuk rencana tsb. mengulas bagaimana masyarakat kita sebenarnya belum menyadari benar bahwa yang justru harus ditakuti dari sekedar sosok Sumanto adalah para koruptor jahanam yang telah memakan uang rakyat sekian banyak, sehingga banyak (jutaan) rakyat Indonesia mengalami kesengsaraan yang berkepanjangan sampai saat ini. Salah satu usulan Kejaksaan Agung untuk menampilkan wajah para koruptor di televisi menurut saya merupakan langkah yang bagus untuk menghukum secara 'sosial' para koruptor tsb., minimal dia akan merasa malu dan orang lain yang akan melakukan korupsi jadi akan berpikir dua kali oleh karenanya.

Mudah2an saja, jiwa dan perilaku korupsi yang selama ini umumnya dilakukan oleh para pejabat negara dan wakil rakyat akan semakin berkurang. Uang haram hasil korupsi jelas tidak akan selamanya menghasilkan manfaat di dunia ini, justru akan menimbulkan mudharat yang tidak terduga, belum lagi hukuman akhirat yang akan diterima para koruptor tsb. selama mereka belum taubat. Wallahu'alam.

----------------------------------------------
Mengapa Lebih Takut kepada Sumanto

- Walaupun bukan pernyataan baru, sebuah surat pembaca tentang fenomena Sumanto, Kamis kemarin kembali menyegarkan sikap kita. Ditulis, ".... Sebenarnya ada yang lebih berbahaya/ dibanding hanya sekadar makan manusia./ Yakni koruptor makan triliunan uang negara/ apalagi lolos hukuman penjara." Beberapa tahun lalu, ketika ulah kanibalis dari Desa Palumutan, Kemangkon, Purbalingga itu menggegerkan seantero negeri dan menerbitkan ketakutan, banyak pengamat yang mengingatkan, mengapa kita justru lebih takut kepada Sumanto tetapi tidak menjadikan koruptor sebagai fobia, sehingga harus "diisolasi" dari pergaulan sosial?

- Kini, bahkan ibunya sendiri pun merasa tidak siap menerima kembali kehadiran Sumanto di lingkungan mereka, menyusul sikap warga desa yang menolak karena masih merasa trauma atas perbuatan pemakan daging manusia dan hewan-hewan melata itu. Maka setelah menghirup udara bebas dari penjara tiga hari lalu, dia memilih tinggal di sebuah pondok rehabilitasi sosial. Pilihan tersebut tentu bukan hanya dari sisi kepentingan Sumanto dalam proses "pertobatannya", melainkan lebih dari itu untuk menjauhkan warga dari kekhawatiran dan rasa takut yang belum sepenuhnya hilang. Pada saatnya, dibutuhkan jaminan dia sudah benar-benar berubah.

- Dalam perjalanannya, kisah-kisah seram sang kanibalis banyak dikondisikan oleh para orang tua sebagai "senjata" untuk mengatasi anaknya yang rewel sehingga serta-merta diam ketakutan mendengar nama tersebut. Dengan kata lain, Sumanto telah menjadi semacam ikon kengerian! Di sinilah sesungguhnya terpapar rangkaian realitas, yakni sikap hidup yang tidak lazim dalam pergaulan sosial, persepsi ketakutan masyarakat sebagai respons atas ketidaklaziman tersebut dan proses isolasi interaksi yang berlangsung secara otomatis. Hal terakhir itu merupakan bentuk hukuman yang harus dihadapi oleh para pelaku penyimpangan sosial.

- Terkait dengan substansi surat pembaca pada awal editorial ini, mengusik sebuah pertanyaan, mengapa kita menjadi lebih takut kepada Sumanto, sedangkan terhadap para koruptor yang "mengkanibal" harta kekayaan negara justru bersikap damai-damai saja? Kita tidak kenal kompromi terhadap seorang Sumanto. Ketakutan yang berkembang cenderung menjadi fobia. Namun terhadap para penjarah uang rakyat, tidak pernah terjadi proses isolasi. Padahal bukankah seharusnya mereka dipersepsi sungguh-sungguh sebagai monster menyeramkan? Terjadi semacam mispersepsi antara dua ketidaklaziman dengan akibat yang bisa sangat berbeda kualitasnya.

- Mengapa tidak kita kembangkan sikap untuk mengondisikan rasa takut kepada para koruptor lewat cara isolasi seperti yang terjadi pada diri Sumanto? Hukum telah mencoba meng-cover dalam bentuk-bentuk punishment yang setimpal. Otomatis hal itu mencakup persepsi masyarakat dalam memandang para terpidana kejahatan korupsi. Masalahnya, apakah suatu pemidanaan kasus korupsi dan proses-proses penegakan hukumnya selama ini secara sosial telah cukup menciptakan "peminggiran" dengan kekuatan efek jera? Atau sistem interaksi dan komunikasi sosial yang harus menciptakan mekanismenya sendiri?

- Persepsi "penerimaan" masyarakat yang memberi beda kualitas - misalnya antara Sumanto dan para koruptor - bagaimanapun dibentuk oleh kondisioning "pencitraan" media. Kalau setiap informasi bernilai sebagai pesan, kemasan pesan medialah yang akan membentuk persepsi masyarakat. Di antara beda realitas ketidaklaziman sang kanibalis dengan para penjarah harta negara, akan ada titik temu dalam menciptakan kekuatan pesan. Yakni bagaimana menimbang bobot fobianya. Kalau sikap mengisolasi dipandang sebagai hukuman sosial yang memadai untuk menciptakan efek jera bagi calon pelaku, bukankah hal itu patut dikampanyekan?


Kumamoto, 27 Oktober 2006

Nur H.

Thursday, October 26, 2006

Ilmuwan Rusia Tawarkan Solusi Hentikan Lumpur Sidoarjo (1)

Berita dari kompas online hari ini tgl. 26 Oktober 2006 menyatakan bahwa seorang ilmuwan dan praktisi pertambangan asal Rusia Pavel V. Korol (49) mengajukan proposal ke Pemerintah RI untuk menghentikan semburan Lumpur Sidoarjo (LUSI) yang makin hari makin mengkuatirkan saja kondisinya.

Metode dan teknologi yang diusulkan kelihatannya cukup unik dan tentu saja reliable. Biaya proyeknya 1/2 juta US$, kalau berhasil. Masalahnya dia membantah teori aktivitas mud volcano yang selama ini menjadi dasar menyemburnya lumpur di Porong, Sidoarjo tsb. Biar sajalah...kita lihat apa reaksi dari para ahli geologi Indonesia yang teorinya dibantah oleh Mr. Pavel. Kita lihat juga pendapat dari para praktisi pertambangan dan teknik sipil berkaitan dengan metode dan teknologi yang akan dipakai. Kita lihat saja apakah Mr. Pavel ini akan mampu menghentikan kegenitan si Lusi.

Kalau berhasil berarti memang si Lusi ini minta jodoh orang Rusia...ada-ada saja si Lusi ini... :-)

-------------------------------------------------------------

Ilmuwan Rusia Tawarkan Solusi Hentikan Lumpur

Pavel V Korol (49), ilmuwan dan praktisi pertambangan asal Rusia, telah mengajukan proposal ke sejumlah kementerian di Indonesia untuk menghentikan semburan air dan lumpur di Sidoarjo, JawaTimur. Pavel, Minggu malam lalu di Jakarta menegaskan, 90 persen risiko akan ditanggungnya. Pemerintah Indonesia tidak perlu membayarnya jika teknologi yang ditawarkan itu gagal mematikan semburan lumpur yang telah menenggelamkan empat desa, dan mengakibatkan sekitar 12.000 jiwa harus mengungsi itu.

"Terus-terang sekarang ini persoalannya seperti persoalan politik bukan? Kalau tidak diambil sampai kapan masyarakat di sana akan terus menderita? Karena itu saya mengajukan proposal ini. No cure no pay! (kalau tidak selesai masalahnya tidak perlu bayar), "kata Pavel menegaskan kepada Kompas bahwa ia sangat serius dengan tawaran teknologinya. Ia didampingi Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Susanto Pudjomartono, dan Irzal Chaniago, Presiden Asosisasi Teknologi Adiguna Rusia-Indonesia (Astari). Secara khusus, Pavel juga sudah meninjau sejumlah lokasi semburan lumpur di Sidoarjo pekan lalu.

Tiga teori

Ia menjelaskan tiga hal mendasar dari teknologi yang ditawarkannya. Pertama ia tidak sependapat bahwa kejadian semburan lumpur di Sidoarjo sebagai bagian dari aktivitas gunung lumpur atau mud volcano yang umumnya diterima publik. Karena itu, semburan lumpur itu masih mungkin dikendalikan, dan dimatikan alirannya. Masalah seperti itu, adalah kajadian atau kasus yang tidak luar biasa."Tetapi kalau terus dibiarkan, sudah jelas risikonya, yaitu makin banyak orang menderita, dan mungkin ia akan menjadi mud vulcano," kata Pavel.

Kedua, teknologi yang ditawarkannya adalah gabungan penggunanaan tekanan yang sangat besar (sekiar 1.000 atmosphere/ATM), dan teknologi "selubung payung". Jika selama ini teknologi tekanan besar digunakan justru untuk "memompa" kandungan bumi seperti minyak dan gas, tekanan udara yang digunakannya justru untuk menghentikan semburan air dan lumpur tadi ke atas. Sedangkan yang dimaksud selubung payung (dia menyebutnya teknologi umbrella), adalah lapisan-lapisan selubung dari bahan polimer pada radius tertentu mengelilingi atau di sekitar lubang-lubang semburan lumpur. Zat polimer, diketahui merupakan "adonan" yang akan berubah menjadi keras menyerupai karet pada saat kering. Tentu saja,"lapisan" atau "konstruksi" payung itu letaknya di kedalaman tertentu, sekitar 3.000 kaki. Kalau aliran lumpur tidak tertutup juga, maka akan dibuat payung kedua, ketiga, dan seterusnya pada kedalaman dan lokasi berbeda. Tujuannya untuk menutup rekahan-rekahan batuan/lapisan tanah yang sudah menjadi aliran lumpur atau yang belum jadi "jalan"aliran lumpur.

Langkah pembuatan payung dimulai dengan membuat jendela (bukaan) masing-masing 3.000 kaki, mengebor lajur tepi (sidetrack), hingga 3.500 kaki, memasang cashing, masing-masing 3.500 kaki, mengebor bagian lateral (menyamping) sepanjang 500 meter ke depan, meretakkan/memecahkan batuan secara hidrolik dan mengisinya dengan "semen" dari polimer tadi. Pada saat seluruh "radius" ledakan/rembesan lumpur sudah terkendali oleh payung polimer, pada saat itulah lubang semburan yang utama mulai ditangani dengan menutupnya dengan hydro-packing bertekanan besar, serta polimer. "Teknologi yang ditawarkan ini menggunakan cara berpikir tebalik. Dia justru menggunakan hydro packing dan tekanan tinggi menahan semburan dari dalam," kataIrzal menambahkan.

Pembiayaan

Pavel menjelaskan, proposal itu telah diajukannya kedepan staf ahli Menteri Negara Lingkungan Hidup (LH) Rachmat Witoelar, dan staf ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pekan lalu. "Proposal ini pada dasarnya 90 persen risiko padasaya. Nilai 90 persen itu dibayar jika pekerjaan selesai, dan lumpur mati," katanya. Sedangkan 10 persen yang harus disediakan pemerintah atau Lapindo, sepenuhnya hanya untuk mendatangkan peralatan, dan SDM yang menangani teknologi. Belum termasuk fee untuk Pavel dan timnya. Nilai 10 persen sebagai uang muka itu, jumlahnya sekitar 50.000 dollar AS. "Tidak besar, dibanding jumlah yang telah dikeluarkan Lapindo tiap hari,"katanya.

Kedatangan Pavel ke Indonesia, diakui oleh Susanto Pudjomartono atas inisitifnya. Ilmuwan yang malang melintang di berbagai perusahaan pertambangan Kanada, AS, Siberia, Kazakstan, maupun Kamzatka itu, sebelumnya bertemu dengan mantan Dubes Indonesia untukRusia Rachmat Witoelar. Lalu Witoelar dan Susanto sepakat, untuk memperkenalkan Pavel membantu mengatasi semburan lumpur. "Apa yang bisa kami lakukan, kami lakukan. Ini demi bangsa kita yang terus menderita akibat bencana lumpur ini. Apalagi Bapak Presiden akan berkunjung ke Rusia 30 November - 1 Desember nanti," kata Susanto. Irzal mendukung langkah Susanto, karena tawaran Pavel merupakan bagian dari alih teknologi antar kedua bangsa. (HRD)


Kumamoto, 26 Oktober 2006

Nur H.

Sunday, October 22, 2006

Selamat Idul Fitri 1427 H


Assalamu'alaikum wr.wb.,

Kepada seluruh saudara, rekan dan handai tulan dimanapun berada, kami sekeluarga mengucapkan Selamat Idul Fitri 1427 H. Mohon maaf lahir dan batin atas segala salah dan khilaf. Semoga semua amal ibadah kita selama bulan Ramadhan mendapat pahala dari Allah SWT. Dan semoga kita semua masih diberikan kesempatan untuk menjumpai bulan Ramadhan tahun berikutnya. Amiin ya robbal a'lamiin.

Wassalamu'alaikum wr.wb.,

Kumamoto, 22 Oktober 2006

Nur, Elin, Riza, Dela, Hikari
----------------------------
nb. Hikari-kun belum masuk
foto karena masih di perut ibu
saat itu.

Sunday, October 15, 2006

Penjahat Berpistol


Membaca berita kejahatan di tanah air kita akhir2 ini yang makin marak (mengingat Lebaran semakin mendekat), membuat saya sangat prihatin. Terutama trend saat ini dimana banyak (kelompok) perampok yang membawa senjata api (pistol) dan tidak segan2 menembak korbannya jika berani melawan atau tidak mau menyerahkan harta bendanya (uang). Selain itu juga terdapat beberapa berita pembunuhan terhadap wanita (ibu rumah tangga) yang belum jelas motif dan pelakunya.

Fokus saya kali ini adalah tentang senjata (pistol) yang dimiliki oleh pelaku (perampok). Apakah ini senjata rakitan atau memang senjata beneran tapi hasil dari perdagangan gelap. Dari peluru yang ditembakkan mestinya polisi bisa meneliti jenis senjata yang dipakai. Di Indonesia, bukan tidak mungkin kasus2 tsb. melibatkan (langsung maupun tak langsung) oknum polisi/TNI sendiri mengingat hanya mereka yang (berhak) punya senjata. Lain kalau di negara barat dimana setiap orang bisa punya senjata secara bebas.

Kalau memang trend saat ini perampok hampir selalu memiliki senjata api, alangkah baiknya kalau rompi anti peluru juga tidak hanya dimiliki oleh polisi/TNI tapi juga disediakan untuk umum, misalnya dipakai oleh pengawal/satpam bank, nasabah bank, saudagar, dll. Jadi paling tidak hal ini bisa mengurangi jumlah korban meninggal akibat ditembak oleh penjahat. Hidup dan mati seseorang memang Tuhan yang menentukan, tapi kalau kita mati karena ditembak oleh penjahat atau perampok kok rasa2nya tragis sekali.

Monday, October 09, 2006

Potret Indonesia-ku


Sekitar dua tahun tidak pulang ke tanah air rasanya waktu yang cukup lama. Tentunya banyak sudah perubahan yang terjadi di sana-sini. Untuk itulah momen liburan musim panas tahun ini kami manfaatkan untuk berkunjung sejenak ke negeri tercinta. Sebenarnya kepulangan saya dan keluarga ke Indonesia sebulan lalu tidak bermaksud liburan, melainkan ada beberapa agenda yang memang mengharuskan saya terutama dan keluarga untuk pulang. Bahkan keluarga tidak akan mengikuti saya untuk kembali ke Jepang lagi, mengingat anak pertama kami, Riza, yang sudah harus masuk SD di Indonesia. Kami tidak menginginkan putra pertama kami tsb. kesulitan baca tulis Alphabet bila masuk SD di Jepang, meski dia sudah 1.5 tahun masuk TK di Jepang.

Berangkat dari Fukuoka Airport dengan pesawat Korean Air tgl. 6 September 2006 pukul 10.30 waktu Jepang dan kita mendarat dengan selamat di Cengkareng sekitar pukul 20.00 WIB. Lima hari tinggal di Jakarta kami manfaatkan dengan putar-putar menikmati suasana Kota Jakarta, sekaligus mengobati rasa kangen kami terhadap berbagai masakan Indonesia. Maklum selama di Jepang rasanya tidak ada makanan yang menurut kami enak, karena memang orang Jepang tidak pernah menggunakan rempah-rempah dalam memasak sehingga rasa masakan Jepang terkesan hampar tanpa rasa. Kami cukup terkejut dengan harga berbagai menu makanan di restauran yang menurut kami jauh lebih mahal dari 2 tahun sebelumnya. Tapi kami maklum mengingat dalam kurun waktu 2 tahun tsb. sudah beberapa kali (2 kali?) terjadi kenaikan BBM, dan hal ini yang memacu kenaikan harga bahan pokok termasuk harga makanan di restauran. Misalnya saja, sebagai contoh waktu kita makan siang di restauran McDonald di Maal Blok M berenam menghabiskan sekitar Rp. 150.000. Kalau dikonversi ke mata uang Jepang (Yen) memang sangat murah karena hanya sekitar 2000 Yen dapat makan untuk enam orang (4 dewasa dan 2 anak). Terus pernah saya makan 1 set nasi gudeg di food court di Mall Taman Anggrek yang harganya Rp. 37.000. Tak apalah...yang penting rasa kangen terhadap gudeg Yogya selama ini sudah terobati...enak tenan.

Dari Jakarta, saya mampir ke Bandung naik kereta api Parahyangan. Sebelum masuk kota Bandung, saya sempat terkejut karena kereta api yang saya naiki berhenti sejenak di St. Cimahi. Dalam hati saya bersyukur karena memang kami punya sebuah rumah di bilangan Permata Cimahi 2, jadi kalau nantinya kita dari atau mau ke Jakarta tidak perlu susah payah naik kereta dari St. Hall Bandung. Sebelumnya saya juga cukup terkesima dengan pemandangan jalan tol Cipularang yang terkenal itu.

Dalam perjalanan dari St. Hall ke kampus ITB sengaja saya naik Taksi Blue Bird yang katanya tarifnya selalu mengacu ke argometer, tidak seperti taksi2 lain di Bandung. Di pertengahan Jl. Tamansari saya lagi-lagi dikejutkan dengan kehadiran jalan layang Pasopati yang 2 tahun lalu masih dikonstruksi dan saat ini sudah tampak megah menghias jantung kota Bandung. Hebat benar Bandung sekarang euy...begitu batin saya. Belum lagi dengan kehadiran beberapa apartemen megah di Setiabudi, Cimbeuleuit, dan Simpang Dago yang konon harga 1 set apartemennya sekitar Rp. 1.5 milyar. Selain itu juga di sepanjang jalan Dago makin banyak bertebaran factory outlet yang menawarkan berbagai macam produk fashion. Untung saja istri saya tidak ikut ke Bandung, kalau ikut wah gawat juga, pasti mengajak mampir ke outlet2 tsb.

Beberapa hari di Bandung rasanya cukup mengobati rasa kangen terhadap kota yang sudah lebih dari 10 tahun saya tinggali tsb. Makan malam dengan pecel lele di pasar Simpang tidak saya lewatkan. Tapi saya sangat terkejut dengan ongkos angkot yang menurut saya naik drastis. Misalnya ongkos angkot dari kampus ITB belakang menuju balubur atau perempatan Sulanjana sekarang Rp. 1500, padahal 2 tahun lalu masih Rp. 500. Inilah dampak dari kenaikan BBM yang dilakukan oleh Pemerintahan SBY-JK.

Dari Bandung saya menuju ke kampung halaman saya yaitu Kota Pati, Jawa Tengah. Sungguh gembira bertemu dengan sanak famili setelah berpisah sekitar 2 tahun. Tapi suasana kota Pati masih tidak jauh berubah dari 2 tahun lalu, maklum kota kecil. Cuman kalau pas malam hari di alun2 Pati makin banyak saja orang yang berjualan (PKL) baik makanan, minuman, pakaian, mainan anak, dll. dengan harga yang cukup murah. Apalagi kalau malam minggu, bisa ditebak akan banyak sekali pengunjung yang bersepeda motor, dan tempat parkir motor akan penuh sesak. Pasangan muda-mudi berboncengan, para orang tua dan anaknya berkerumun makan lesehan, dll. Sungguh pemandangan yang menyenangkan yang tidak bisa kita temukan di Jepang.

Di kampung orang tua istri saya, di Desa Sekarjalak, Margoyoso Pati, sekitar 20 km ke utara dari kota Pati, suasananya juga tidak banyak berubah. Harga bahan makanan di pasar Bulumanis tidak jauh berbeda dengan kondisi 2 tahun lalu. Harga semangkok bakso hanya Rp. 2500 dari 2 tahun lalu kalau gak salah Rp. 1500. Wah enak benar kalau misalnya bisa tinggal atau hidup di daerah kecil, tapi mendapatkan gaji dari kota besar atau dari Jepang...semoga keluarga saya betah tinggal di kampung untuk sementara waktu sampai saya selesai studi di Jepang 1 tahun lagi.