Saturday, April 07, 2007

Tukulisme: Paradigma Baru dalam Berkomunikasi

Sebuah wacana yang menarik dari Suara Merdeka edisi 7 April 2007 tentang paradigma baru dalam berkomunikasi dengan msyarakat Indonesia bernama Tukulisme...kembali ke laptop!

--------------------------------------
HANYA orang yang dewasa yang mampu menertawakan diri sendiri. Sayangnya, tidak banyak orang yang mampu menertawakan diri sendiri di zaman global-kapitalisme ini, yang makin mendorong orang untuk jaim (jaga image), high profile, dan perlente. Menertawakan, bahkan memperolok diri sendiri, adalah tindakan yang bertentangan dari nilai-nilai global-kapitalisme, yang merupakan bentuk nyata penetrasi Dunia Barat terhadap negara berkembang.

Nilai-nilai Barat yang high profile itu telah meruntuhkan nilai-nilai lokal yang low profile. Dan menertawakan diri sendiri adalah salah satu wujud low profile. Nilai-nilai Barat itu high profile high profit, sedangkan nilai-nilai lokal itu low profile low profit. Dari sudut pandang yang lain, perbenturan itu adalah perbenturan antara kultur industri dengan kultur agraris. Kultur industri itu global, kultur agraris itu lokal. Kultur industri itu high profile, kultur agraris itu low profile.

Tidak percaya? Lihat saja para petani di pedesaan, bukankah mereka sangat merendah? Sebaliknya para pengusaha, bukankah mereka high profile?
Tukul, dengan program Empat Matanya, adalah fenonema yang berbeda. Dia berada di antara dua nilai itu. Bukan high profile high profit, bukan pula low profile low profit, melainkan low profile high profit. Ia menertawakan, bahkan mengolok-olok dirinya sendiri, dan dengan cara itu ia mendapat keuntungan materi. Dengan "merendahkan diri" dia berkomunikasi dengan para selebriti yang kebanyakan berpenampilan "wah." Maka, jadilah program itu tontonan yang menarik, dengan rating yang tinggi.

* * *

Dari kacamata marketing, Tukul adalah potret diferensiasi. Ia berbeda dari yang lain. Dan justru karena berbeda itulah, maka ia menjadi sangat menonjol. Ia membalikkan logika global-kapitalisme yang selalu jaim dan tinggi hati. Mohammad Yunus dari Bangladesh pun membalikkan logika itu, dengan memberikan pinjaman tanpa jaminan, sehingga memperoleh Hadiah Nobel.

Tukul merepresentasikan kehebatan kultur agraris di hadapan kultur industri. Dengan kecerdasannya, ia menjual "kebodohannya" kepada publik. Dari kacamata psikologi, ia berhasil memanfaatkan "kelemahannya" menjadi kehebatannya. Dari kacamata developmentalist, Tukul adalah kecerdasan lokal (local genius) dan kearifan lokal (local wisdom).

Itulah beberapa gambaran, mengapa Empat Mata menjadi program favorit. Diferensiasinya sangat kuat! Ketika program-program yang lain menyuguhkan tontonan kemewahan, yang sangat fisik-materialistik, Tukul justru menawarkan alternatif lain, yang berbeda sama sekali. Ketika program talkshow yang lain dikemas dengan serius, atau kalaupun tidak serius toh tetap bernuansa high profile, Tukul justru mengeksploitasi "kebodohannya" dengan mengolok-olok dirinya sendiri.

Tukul adalah fenomena yang berbeda. Tapi justru karena itulah, sebenarnya dia telah berhasil mengeksplorasi sisi-sisi kemanusiaan yang sedang bergejolak di sebagian besar masyarakat Indonesia. Sisi kemanusiaan itu bernama: kerendahan hati. Tukul seperti oasis di tengah padang pasir yang tandus. Ia memberi kesegaran di tengah-tengah masyarakat yang sebenarnya sedang "kekeringan." Orang menemukan kerendahan hati, kepolosan, kesederhanaan, bahkan kejujuran, dalam diri orang Semarang yang dulu pernah menjadi kernet angkot ini.

* * *

Jadi, tidak berlebihan kalau pakar marketing, Rhenald Kasali pun mengatakan, bahwa orang paling pintar di Indonesia ini ya Tukul Arwana.
Republik Mimpi yang dikelola pakar komunikasi, Efendi Gazali, juga tidak sungkan mengangkat tema "Tukulisme" dalam salah satu episodenya.

"Sekarang ini sudah banyak 'Tukulis-Tukulis' di luar negeri," kata Tukul Arwana ketika mengomentari surat seorang fansnya dari Nederland. Tukul memang sedang menjadi orang hebat. Ia berhasil mengomunikasikan dengan sangat baik gagasan-gagasannya, cara berpikirnya (the way of thinking) kepada publik. Pekerjaan yang tidak mudah, bahkan bagi seorang profesor atau politisi sekalipun. Ia telah berhasil menerapkan paradigma baru dalam komunikasi: paradigma komunikasi transaksional, bukan paradigma lama yang masih transmisional.

Saya sih berharap, "Tukulisme" makin menyebar dan memasyarakat, agar lebih banyak lagi orang yang rendah hati, jujur, sederhana, pluralis, dan humanis. Lebih banyak lagi orang yang dewasa, yang bisa menertawakan diri sendiri. Nilai-nilai itulah yang saat ini dibutuhkan bangsa kita, bukan nilai-nilai global-kapitalisme yang fisik-materialistik.

--- Adi Ekopriyono, wartawan Suara Merdeka

0 Comments:

Post a Comment

<< Home