Friday, October 27, 2006

Mengapa Masyarakat Kita Lebih Takut pada Sumanto daripada Koruptor Jahanam?


Tajuk rencana dari harian Suara Merdeka online hari ini tgl. 27 Oktober 2006. Topik yang cukup menarik untuk disimak bagi siapa saja. Kasus Sumanto memang cukup unik dan mungkin baru pertama kali terjadi di Indonesia, bahkan di dunia barangkali. Diperkirakan si Sumanto memiliki kelainan jiwa bawaan yang mengakibatkan dia gemar makan daging manusia dan hewan2 melata lainnya.

Begitu bebas dari kurungan penjara di Lapas Purwokerto yang didiaminya sejak 5 tahun lalu, dia bertekad tidak akan lagi melakukan tindakan yang aneh2 begitu bebas. Tapi yang namanya masyarakat tetap saja masih merasa takut dan kuatir kalau2 Sumanto kumat lagi 'sakitnya'. Untuk itu sementara waktu dia akan menjalani 'rehabilitasi' di sebuah pondok pesantren di sekitar daerah situ juga (Jawa Tengah) sampai ia dinyatakan benar2 'sembuh'.

Tajuk rencana tsb. mengulas bagaimana masyarakat kita sebenarnya belum menyadari benar bahwa yang justru harus ditakuti dari sekedar sosok Sumanto adalah para koruptor jahanam yang telah memakan uang rakyat sekian banyak, sehingga banyak (jutaan) rakyat Indonesia mengalami kesengsaraan yang berkepanjangan sampai saat ini. Salah satu usulan Kejaksaan Agung untuk menampilkan wajah para koruptor di televisi menurut saya merupakan langkah yang bagus untuk menghukum secara 'sosial' para koruptor tsb., minimal dia akan merasa malu dan orang lain yang akan melakukan korupsi jadi akan berpikir dua kali oleh karenanya.

Mudah2an saja, jiwa dan perilaku korupsi yang selama ini umumnya dilakukan oleh para pejabat negara dan wakil rakyat akan semakin berkurang. Uang haram hasil korupsi jelas tidak akan selamanya menghasilkan manfaat di dunia ini, justru akan menimbulkan mudharat yang tidak terduga, belum lagi hukuman akhirat yang akan diterima para koruptor tsb. selama mereka belum taubat. Wallahu'alam.

----------------------------------------------
Mengapa Lebih Takut kepada Sumanto

- Walaupun bukan pernyataan baru, sebuah surat pembaca tentang fenomena Sumanto, Kamis kemarin kembali menyegarkan sikap kita. Ditulis, ".... Sebenarnya ada yang lebih berbahaya/ dibanding hanya sekadar makan manusia./ Yakni koruptor makan triliunan uang negara/ apalagi lolos hukuman penjara." Beberapa tahun lalu, ketika ulah kanibalis dari Desa Palumutan, Kemangkon, Purbalingga itu menggegerkan seantero negeri dan menerbitkan ketakutan, banyak pengamat yang mengingatkan, mengapa kita justru lebih takut kepada Sumanto tetapi tidak menjadikan koruptor sebagai fobia, sehingga harus "diisolasi" dari pergaulan sosial?

- Kini, bahkan ibunya sendiri pun merasa tidak siap menerima kembali kehadiran Sumanto di lingkungan mereka, menyusul sikap warga desa yang menolak karena masih merasa trauma atas perbuatan pemakan daging manusia dan hewan-hewan melata itu. Maka setelah menghirup udara bebas dari penjara tiga hari lalu, dia memilih tinggal di sebuah pondok rehabilitasi sosial. Pilihan tersebut tentu bukan hanya dari sisi kepentingan Sumanto dalam proses "pertobatannya", melainkan lebih dari itu untuk menjauhkan warga dari kekhawatiran dan rasa takut yang belum sepenuhnya hilang. Pada saatnya, dibutuhkan jaminan dia sudah benar-benar berubah.

- Dalam perjalanannya, kisah-kisah seram sang kanibalis banyak dikondisikan oleh para orang tua sebagai "senjata" untuk mengatasi anaknya yang rewel sehingga serta-merta diam ketakutan mendengar nama tersebut. Dengan kata lain, Sumanto telah menjadi semacam ikon kengerian! Di sinilah sesungguhnya terpapar rangkaian realitas, yakni sikap hidup yang tidak lazim dalam pergaulan sosial, persepsi ketakutan masyarakat sebagai respons atas ketidaklaziman tersebut dan proses isolasi interaksi yang berlangsung secara otomatis. Hal terakhir itu merupakan bentuk hukuman yang harus dihadapi oleh para pelaku penyimpangan sosial.

- Terkait dengan substansi surat pembaca pada awal editorial ini, mengusik sebuah pertanyaan, mengapa kita menjadi lebih takut kepada Sumanto, sedangkan terhadap para koruptor yang "mengkanibal" harta kekayaan negara justru bersikap damai-damai saja? Kita tidak kenal kompromi terhadap seorang Sumanto. Ketakutan yang berkembang cenderung menjadi fobia. Namun terhadap para penjarah uang rakyat, tidak pernah terjadi proses isolasi. Padahal bukankah seharusnya mereka dipersepsi sungguh-sungguh sebagai monster menyeramkan? Terjadi semacam mispersepsi antara dua ketidaklaziman dengan akibat yang bisa sangat berbeda kualitasnya.

- Mengapa tidak kita kembangkan sikap untuk mengondisikan rasa takut kepada para koruptor lewat cara isolasi seperti yang terjadi pada diri Sumanto? Hukum telah mencoba meng-cover dalam bentuk-bentuk punishment yang setimpal. Otomatis hal itu mencakup persepsi masyarakat dalam memandang para terpidana kejahatan korupsi. Masalahnya, apakah suatu pemidanaan kasus korupsi dan proses-proses penegakan hukumnya selama ini secara sosial telah cukup menciptakan "peminggiran" dengan kekuatan efek jera? Atau sistem interaksi dan komunikasi sosial yang harus menciptakan mekanismenya sendiri?

- Persepsi "penerimaan" masyarakat yang memberi beda kualitas - misalnya antara Sumanto dan para koruptor - bagaimanapun dibentuk oleh kondisioning "pencitraan" media. Kalau setiap informasi bernilai sebagai pesan, kemasan pesan medialah yang akan membentuk persepsi masyarakat. Di antara beda realitas ketidaklaziman sang kanibalis dengan para penjarah harta negara, akan ada titik temu dalam menciptakan kekuatan pesan. Yakni bagaimana menimbang bobot fobianya. Kalau sikap mengisolasi dipandang sebagai hukuman sosial yang memadai untuk menciptakan efek jera bagi calon pelaku, bukankah hal itu patut dikampanyekan?


Kumamoto, 27 Oktober 2006

Nur H.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home