Monday, October 09, 2006

Potret Indonesia-ku


Sekitar dua tahun tidak pulang ke tanah air rasanya waktu yang cukup lama. Tentunya banyak sudah perubahan yang terjadi di sana-sini. Untuk itulah momen liburan musim panas tahun ini kami manfaatkan untuk berkunjung sejenak ke negeri tercinta. Sebenarnya kepulangan saya dan keluarga ke Indonesia sebulan lalu tidak bermaksud liburan, melainkan ada beberapa agenda yang memang mengharuskan saya terutama dan keluarga untuk pulang. Bahkan keluarga tidak akan mengikuti saya untuk kembali ke Jepang lagi, mengingat anak pertama kami, Riza, yang sudah harus masuk SD di Indonesia. Kami tidak menginginkan putra pertama kami tsb. kesulitan baca tulis Alphabet bila masuk SD di Jepang, meski dia sudah 1.5 tahun masuk TK di Jepang.

Berangkat dari Fukuoka Airport dengan pesawat Korean Air tgl. 6 September 2006 pukul 10.30 waktu Jepang dan kita mendarat dengan selamat di Cengkareng sekitar pukul 20.00 WIB. Lima hari tinggal di Jakarta kami manfaatkan dengan putar-putar menikmati suasana Kota Jakarta, sekaligus mengobati rasa kangen kami terhadap berbagai masakan Indonesia. Maklum selama di Jepang rasanya tidak ada makanan yang menurut kami enak, karena memang orang Jepang tidak pernah menggunakan rempah-rempah dalam memasak sehingga rasa masakan Jepang terkesan hampar tanpa rasa. Kami cukup terkejut dengan harga berbagai menu makanan di restauran yang menurut kami jauh lebih mahal dari 2 tahun sebelumnya. Tapi kami maklum mengingat dalam kurun waktu 2 tahun tsb. sudah beberapa kali (2 kali?) terjadi kenaikan BBM, dan hal ini yang memacu kenaikan harga bahan pokok termasuk harga makanan di restauran. Misalnya saja, sebagai contoh waktu kita makan siang di restauran McDonald di Maal Blok M berenam menghabiskan sekitar Rp. 150.000. Kalau dikonversi ke mata uang Jepang (Yen) memang sangat murah karena hanya sekitar 2000 Yen dapat makan untuk enam orang (4 dewasa dan 2 anak). Terus pernah saya makan 1 set nasi gudeg di food court di Mall Taman Anggrek yang harganya Rp. 37.000. Tak apalah...yang penting rasa kangen terhadap gudeg Yogya selama ini sudah terobati...enak tenan.

Dari Jakarta, saya mampir ke Bandung naik kereta api Parahyangan. Sebelum masuk kota Bandung, saya sempat terkejut karena kereta api yang saya naiki berhenti sejenak di St. Cimahi. Dalam hati saya bersyukur karena memang kami punya sebuah rumah di bilangan Permata Cimahi 2, jadi kalau nantinya kita dari atau mau ke Jakarta tidak perlu susah payah naik kereta dari St. Hall Bandung. Sebelumnya saya juga cukup terkesima dengan pemandangan jalan tol Cipularang yang terkenal itu.

Dalam perjalanan dari St. Hall ke kampus ITB sengaja saya naik Taksi Blue Bird yang katanya tarifnya selalu mengacu ke argometer, tidak seperti taksi2 lain di Bandung. Di pertengahan Jl. Tamansari saya lagi-lagi dikejutkan dengan kehadiran jalan layang Pasopati yang 2 tahun lalu masih dikonstruksi dan saat ini sudah tampak megah menghias jantung kota Bandung. Hebat benar Bandung sekarang euy...begitu batin saya. Belum lagi dengan kehadiran beberapa apartemen megah di Setiabudi, Cimbeuleuit, dan Simpang Dago yang konon harga 1 set apartemennya sekitar Rp. 1.5 milyar. Selain itu juga di sepanjang jalan Dago makin banyak bertebaran factory outlet yang menawarkan berbagai macam produk fashion. Untung saja istri saya tidak ikut ke Bandung, kalau ikut wah gawat juga, pasti mengajak mampir ke outlet2 tsb.

Beberapa hari di Bandung rasanya cukup mengobati rasa kangen terhadap kota yang sudah lebih dari 10 tahun saya tinggali tsb. Makan malam dengan pecel lele di pasar Simpang tidak saya lewatkan. Tapi saya sangat terkejut dengan ongkos angkot yang menurut saya naik drastis. Misalnya ongkos angkot dari kampus ITB belakang menuju balubur atau perempatan Sulanjana sekarang Rp. 1500, padahal 2 tahun lalu masih Rp. 500. Inilah dampak dari kenaikan BBM yang dilakukan oleh Pemerintahan SBY-JK.

Dari Bandung saya menuju ke kampung halaman saya yaitu Kota Pati, Jawa Tengah. Sungguh gembira bertemu dengan sanak famili setelah berpisah sekitar 2 tahun. Tapi suasana kota Pati masih tidak jauh berubah dari 2 tahun lalu, maklum kota kecil. Cuman kalau pas malam hari di alun2 Pati makin banyak saja orang yang berjualan (PKL) baik makanan, minuman, pakaian, mainan anak, dll. dengan harga yang cukup murah. Apalagi kalau malam minggu, bisa ditebak akan banyak sekali pengunjung yang bersepeda motor, dan tempat parkir motor akan penuh sesak. Pasangan muda-mudi berboncengan, para orang tua dan anaknya berkerumun makan lesehan, dll. Sungguh pemandangan yang menyenangkan yang tidak bisa kita temukan di Jepang.

Di kampung orang tua istri saya, di Desa Sekarjalak, Margoyoso Pati, sekitar 20 km ke utara dari kota Pati, suasananya juga tidak banyak berubah. Harga bahan makanan di pasar Bulumanis tidak jauh berbeda dengan kondisi 2 tahun lalu. Harga semangkok bakso hanya Rp. 2500 dari 2 tahun lalu kalau gak salah Rp. 1500. Wah enak benar kalau misalnya bisa tinggal atau hidup di daerah kecil, tapi mendapatkan gaji dari kota besar atau dari Jepang...semoga keluarga saya betah tinggal di kampung untuk sementara waktu sampai saya selesai studi di Jepang 1 tahun lagi.

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Semangat mas....

Saya juga kangen masakan Indo, terutama sega gandul



-Wong Pati nang Singapore-

11:44 AM  
Blogger M. Nur Heriawan said...

Terima kasih Mas Reza...sama2, semangat millenium!
Buka aja warung sego gandhul di Singapore, kan relatif
dekat dari Indonesia tuch, bisnis besar tuch. Warung
Padang aja ada kok disitu, bener khan.

3:24 PM  

Post a Comment

<< Home