1. Pendahuluan
Penemuan beberapa benda purbakala berupa logam baik yang terbuat dari emas maupun perak yang diperkirakan berasal dari era sebelum Masehi menunjukkan bahwa usia kegiatan penggalian bahan tambang sudah sangat tua. Kegiatan penggalian bahan tambang atau kita sebut sebagai pertambangan erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan sekunder manusia sejak zaman dahulu sampai saat ini. De Re Metallica merupakan publikasi pertama yang mendeskripsikan teknologi pertambangan dan pengelolaannya secara terintegrasi pada abad ke-16 di Eropa yang ditulis oleh Georg Agricola (1494-1555) dan dipublikasikan pertama kali di Basel, Swiss pada tahun 1556. Secara implisit buku De Re Metallica mengungkapkan bahwa kegiatan pertambangan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Seluruh perkakas yang terbuat dari hasil pertambangan dapat kita temukan mulai dari bagian tubuh wanita yang berupa gelang, cincin, atau kalung emas sampai pada komponen-komponen elektronika yang terbuat dari berbagai logam. Seiring dengan perkembangan zaman dimana tingkat kepadatan dan hunian penduduk semakin meningkat, tentunya kebutuhan akan bahan tambang sangat diperlukan baik yang berupa bahan galian mineral maupun sumber energi. Jadi selama makhluk yang bernama manusia masih berkeinginan memenuhi kebutuhan hidupnya, maka selama itu pula kegiatan pertambangan masih diperlukan. Selain menghasilkan berbagai manfaat dan dampak positif, tentu saja kegiatan pertambangan juga membawa beberapa dampak negatif. Di Indonesia, dampak negatif kegiatan pertambangan sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita, karena sudah banyak diekspos di berbagai media cetak dan seminar-seminar berskala nasional. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia yang paling sering meneriakkan dampak buruk industri pertambangan adalah WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang).
Sebelum terlalu jauh membahas karakter pertambangan dan dampak-dampak yang ditimbulkan, ada baiknya kita bahas terlebih dulu pengertian pertambangan yang sebenarnya. Dilihat dari terminologi secara umum, kata tambang dan pertambangan memiliki pengertian yang berbeda. Tambang adalah proses penggalian dari dalam bumi untuk mengekstraksi bijih dan mineral lain. Sedangkan pengertian pertambangan adalah kegiatan ekstraksi mineral berharga atau material geologi lain dari dalam bumi. Pengertian tambang dan pertambangan tersebut memang masih terlalu sempit cakupannya. Pertambangan juga dapat mencakup materi yang lebih luas termasuk ekstraksi minyak bumi, gas alam, maupun sumberdaya air. Di Indonesia sendiri, pengertian pertambangan baru-baru ini sudah mulai dibahas oleh Pansus (Panitia khusus) RUU (Rancangan Undang-Undang) Pertambangan Mineral dan Batubara DPR-RI. Mereka menyepakati bahwa pengertian pertambangan secara umum adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta kegiatan pasca tambang. Selain itu, pengertian tentang mineral dan batubara juga telah disepakati untuk dibahas oleh anggota Pansus tersebut.
Tulisan singkat ini akan dimulai dengan pengertian dan klasifikasi endapan bahan galian secara umum sebagai dasar bagaimana endapan bahan galian tersebut dapat dieksploitasi secara ekonomis sesuai teknologi yang tersedia. Hal ini juga untuk meluruskan persepsi dimana tidak semua endapan bahan galian bisa dieksploitasi secara tambang bawah tanah (underground mining). Selanjutnya akan dibahas berbagai permasalahan yang sering muncul di masyarakat tentang kenapa kegiatan pertambangan selalu diidentikkan dengan kerusakan lingkungan. Selain hak melakukan eksploitasi sumberdaya mineral, industri pertambangan juga memiliki kewajiban dalam menjaga kelestarian alam serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Maju dan mundurnya industri pertambangan di Indonesia tentu saja dipengaruhi oleh iklim berinvestasi di Indonesia yang secara umum berkaitan dengan kebijakan pemerintah, kepastian hukum, dan situasi keamanan nasional. Untuk itu nasib pertambangan di Indonesia akan ditentukan apakah pertambangan dianggap membawa manfaat atau sebaliknya membawa mudharat.
Penulis sebagai peneliti dan akademisi pada beberapa bagian dalam tulisan ini akan mengulas dari sisi ilmiah kenapa industri pertambangan di Indonesia selalu “dimusuhi” oleh sebagian warga negara yang termasuk dalam kelompok environmentalist (pemerhati lingkungan), apa sebenarnya yang melatarbelakangi “permusuhan” itu. Mengingat hal ini hanya terjadi di Indonesia, sedangkan kegiatan pertambangan di luar negeri seperti di Cina, India, Australia, Chili, Brasil, Papua New Guinea dan negara lain terkesan tidak pernah dipermasalahkan oleh warga negaranya. Apakah telah terjadi pergeseran atau perbedaan persepsi antara kelompok environmentalist dan miner (pelaku pertambangan) di Indonesia dalam mendefinisikan pertambangan. Penulis dalam hal ini tidak akan berpihak pada kelompok manapun, tapi hanya sebatas meluruskan beberapa kesalahan persepsi (misunderstanding) yang barangkali ada di benak kelompok environmentalist dan menyampaikan wacana tentang bagaimana sebenarnya kegiatan pertambangan itu berlangsung termasuk dampak-dampak yang ditimbulkan.
2. Pengertian dan Klasifikasi Endapan Bahan Galian
Menurut McKinney di dalam situs Environmental Science, endapan mineral atau bahan galian adalah suatu area yang mengandung mineral dalam kadar tertentu yang terjadi karena proses alam. Secara umum endapan bahan galian merupakan materi-materi padatan yang mengandung mineral-mineral tertentu dan terletak di bawah permukaan bumi. Jadi endapan bahan galian terbatas pada materi padatan saja dan belum tentu mengandung nilai ekonomis. Menurut genesa atau pembentukannya, endapan bahan galian secara umum dibagi menjadi dua, yaitu endapan primer dan endapan sekunder. Endapan primer terbentuk berkaitan dengan aktivitas magma di dalam perut bumi, yang kemudian magma tersebut mengeluarkan cairan sisa yang banyak mengandung gas bertekanan tinggi dan senyawa-senyawa logam untuk kemudian mendekati permukaan bumi. Cairan-cairan sisa magma tersebut kemudian membeku di dekat permukaan bumi dan tercebak di berbagai tempat pada kondisi tekanan dan temperatur tertentu yang sesuai. Kedalaman cebakan bahan galian di bawah permukaan bumi bervariasi sesuai dengan kondisi tekanan dan temperatur pembentukan endapan mineralnya. Contoh endapan-endapan primer di dunia yang telah diusahakan melalui pertambangan misalnya emas epitermal di Pongkor, tembaga dan emas porfiri di Grasberg dan Batu Hijau, bijih besi di daerah Ketapang, dan sebagainya.
Aktivitas magma sendiri selalu berkaitan dengan keberadaan gunung api dan pembentukannya. Jadi sudah menjadi kodrat alam kalau endapan primer selalu berada tidak jauh dari daerah pegunungan dan sekitarnya. Daerah pegunungan biasanya juga subur sehingga beraneka ragam kekayaan hayati akan tumbuh dengan lebatnya. Akibatnya sudah menjadi kodrat alam juga bahwa endapan primer yang berada di bawah permukaan bumi umumnya juga berasosiasi dengan keberadaan hutan di atas permukaannya. Jadi istilahnya keberadaan endapan primer dan hutan tersebut layaknya seperti dua sejoli yang tak mungkin terpisahkan. Namun untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan di dunia ini, baik sumberdaya bahan galian maupun hutan pada akhirnya harus rela terpisahkan satu sama lain. Andai saja bisa berkomentar mereka pasti cukup bahagia sebab mereka adalah materi-materi yang bermanfaat dan sengaja diciptakan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia. Bahkan di dalam kitab suci Al Quran, Allah berfirman dalam surat An Nahl ayat 13 yang artinya kurang lebih sebagai berikut: “Selain yang telah diciptakan oleh Allah di langit dan disediakan untuk kalian manfaatkan, Dia juga menciptakan berbagai macam binatang, tumbuhan dan benda di muka bumi untuk kalian. Dalam perut bumi, Dia juga menciptakan bahan-bahan tambang yang beraneka warna, bentuk dan cirinya. Semua itu diciptakan untuk kalian manfaatkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda yang jelas dan banyak bagi kaum yang selalu merenungkan hingga mengetahui kekuasaan Sang Pencipta dan kasih sayang-Nya kepada mereka”. Jadi jelas bahwa apa yang telah diciptakan oleh Allah baik yang berada di dalam maupun di permukaan bumi adalah untuk dimanfaatkan oleh manusia. Masalahnya adalah bagaimana manusia melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam tersebut dengan memperhatikan keseimbangan alam untuk menghindari atau meminimalisasi kerusakan atau bencana alam yang terjadi, karena Allah juga membenci orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ini.
Di lain pihak, endapan bahan galian sekunder terbentuk tidak berkaitan langsung dengan aktivitas magma, tapi merupakan bagian dari endapan bahan galian primer yang telah mengalami proses erosi, transportasi, sortasi, dan pengendapan kembali. Jadi keterdapatan endapan sekunder tergantung seberapa jauh proses transportasi yang dialami dari sumbernya. Kemungkinan keterdapatan endapan sekunder bisa masih berada di sekitar daerah pegunungan, misalnya endapan aluvial di sekitar sungai atau justru jauh sekali dari daerah pegunungan, misalnya endapan letakan (placer) di sekitar pantai. Hampir bisa dipastikan bahwa aktivitas penambangan terhadap semua jenis endapan sekunder dilakukan secara tambang terbuka mengingat letak dan dimensi keberadaan endapan yang di sekitar permukaan bumi.
Secara lebih khusus lagi di Indonesia, Pemerintah RI sudah mengatur mengenai penggolongan jenis-jenis bahan galian yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa penggolongan bahan galian ada tiga yaitu:
a) Bahan galian Strategis yang berarti strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara, misalnya minyak bumi, gas alam, batubara, uranium, nikel, timah, dll.
b) Bahan galian Vital yang berarti dapat menjamin hajat hidup orang banyak, misalnya emas, perak, tembaga, besi, seng, belerang, mangan, zirkon, dll.
c) Bahan galian yang tidak termasuk bahan galian Strategis dan Vital dikarenakan sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, misalnya batu permata, kaolin, marmer, pasir kuarsa, batu kapur, andesit, pasir besi, dll.
Dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa dasar-dasar penggolongan bahan-bahan galian tersebut adalah: (a). Nilai strategis atau ekonomis bahan galian terhadap negara; (b). Terdapatnya suatu bahan galian di alam (genesa); (c). Penggunaan bahan galian bagi industri; (d). Pengaruhnya terhadap kehidupan rakyat banyak; (e). Pemberian kesempatan pengembangan pengusaha; dan (f). Penyebaran pembangunan di daerah. Jadi jelas bahwa keberadaan bahan galian itu diatur oleh negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi memang dalam pelaksanaannya kadang-kadang ada yang berbenturan dengan kepentingan-kepentingan pemerintah daerah dan masyarakat lokal, dimana pada saat yang bersamaan juga pemerintah pusat kurang mengerti atau peduli dengan pokok persoalan yang ada. Dengan keluarnya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang rancangannya masih dibahas oleh DPR-RI, diharapkan nantinya semua aspek yang terkait dengan pertambangan tidak merugikan pihak mana pun dan lebih respek terhadap pengendalian lingkungan.
3. Pertambangan Sebagai Kambing Hitam pada Kasus Kerusakan Lingkungan
Sumberdaya mineral merupakan salah satu jenis dari sumberdaya alam, sehingga pengelolaannya pun mestinya mengacu kepada pengelolaan sumberdaya alam secara umum. Pada bab 2 sudah dijelaskan bahwa keberadaan sumberdaya mineral hampir selalu tumpang tindih dengan jenis sumberdaya alam yang lain. Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (UU PSDA) yang rancangannya juga masih dibahas oleh DPR-RI mestinya bisa dibuat selaras dalam implementasinya terhadap UU Minerba. Di setiap Pemerintah Daerah melalui Departemen Pertambangan dan Energi setempat semestinya juga sudah memiliki kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya mineral yang berwawasan lingkungan, yang mana kebijakan tersebut akan selalu menjadi rambu-rambu bagi pengusahaan pertambangan di daerah. Dengan mengikuti semua peraturan dan perundang-undangan yang telah ada semestinya pula tidak ada alasan bagi pelaku pertambangan untuk merusak lingkungan. Meskipun jelas bahwa aktivitas pertambangan yang dimulai dengan pembukaan lahan (land clearing) dan konstruksi berbagai sarana dan prasarana pendukung pertambangan seperti jalan, perumahan, kantor, dumping area, lokasi pabrik untuk pengolahan, lokasi stock pile, pelabuhan, dan lain-lain dapat saja mengganggu keseimbangan lingkungan. Tetapi semua itu tentu bisa diminimalisasi, dan juga akan ada kompensasi yang sangat berharga dimana roda perekonomian di daerah tersebut pada khususnya akan berjalan. Jadi yang awalnya berupa daerah yang sepi, bisa menjadi daerah yang ramai dan makmur dalam segi perekonomian.
Menurut Nabiel Makarim (mantan Menteri KLH) dalam kuliah umum Pengetahuan Lingkungan di ITB tanggal 14 Maret 2006, saat ini terdapat empat masalah lingkungan hidup utama yang sedang dihadapi oleh negara Indonesia, yaitu: (1) Pencemaran di daerah urban, (2) Pencemaran yang berasal dari sektor industri, (3) Pertambangan yang destruktif, (4) Kerusakan lingkungan alam dan keanekaragaman hayati yang terancam. Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai maksud kata terancam tersebut, tapi barangkali yang dimaksudkan adalah terancam secara alami misalnya akibat bencana alam (kebakaran hutan, tanah longsor, dll.) dan juga ancaman akibat perbuatan manusia (pembukaan lahan untuk tempat berladang, penebangan hutan secara liar, dll.). Maka dari itu menurut Nabiel, pelestarian lingkungan menuntut komitmen dari pemerintah, bisnis, dan masyarakat. Semua komponen pemerintah dan masyarakat tentunya perlu mempunyai komitmen terhadap pelestarian.
Dengan demikian alangkah tidak adilnya jika selama ini kegiatan pertambangan selalu dijadikan satu-satunya kambing hitam dalam kasus kerusakan lingkungan oleh LSM-LSM yang menyatakan dirinya pecinta lingkungan. Seharusnya tindakan yang paling bijaksana adalah dengan melakukan inventarisasi kerusakan lingkungan yang telah dan sedang terjadi di Indonesia. Dengan demikian akan terlihat secara kuantitatif sumber-sumber kerusakan lingkungan yang ada. Hal ini salah satunya bisa diawali dengan studi aplikasi metode inderaja (remote sensing) untuk pemetaan dan pengklasifikasian kerusakan-kerusakan lingkungan. Memang untuk mencakup seluruh wilayah Indonesia, pekerjaan ini akan memakan biaya yang sangat besar dan tentu hampir mustahil dilakukan dengan kondisi perekonomian bangsa seperti saat ini. Tetapi barangkali daerah studi bisa dimulai setahap demi setahap menurut urutan prioritas, misalnya daerah yang selama ini dianggap paling rentan terhadap kasus kerusakan lingkungan, sebagai contoh daerah-daerah tertentu di Kalimantan Selatan, Riau, atau Papua.
Beberapa studi tentang aplikasi teknologi inderaja untuk memetakan kerusakan lahan misalnya telah dibahas oleh Gitas et al. (2004) khususnya tentang kemampuan sensor satelit sistem NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration, salah satu agen federal di bawah Departemen Perniagaan Amerika Serikat) AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) yang dapat mencakup suatu daerah yang luas dengan frekuensi temporal yang tinggi. Dengan teknologi tersebut memungkinkan untuk secara cepat mendapatkan gambaran umum terhadap situasi yang terjadi pada suatu dataran yang luas. Lebih khusus lagi dapat mengakses secara cepat kerusakan hutan yang luas akibat kebakaran sekaligus memetakannya. Selain itu, Olthof et al. (2004) menyatakan bahwa pada saat penginderaan jauh terhadap lingkungan tidak dapat membedakan diantara sekian banyak tingkat kerusakan yang terjadi (sebagai contoh kerusakan yang dimaksud dalam studinya diakibatkan oleh badai es), maka dapat dipertimbangkan metode jaringan syaraf tiruan (neural networks) yang bermanfaat untuk membedakan daerah yang mengalami kerusakan ringan sampai sedang dengan tingkat akurasi sekitar 69%. Metote klasifikasi yang demikian itu, katanya, dapat menghasilkan peta kerusakan regional yang lebih objektif daripada estimasi yang berdasarkan point-based visual ataupun pemetaan sketsa dari udara (aerial sketch mapping). Metode tersebut juga akan membantu dalam identifikasi daerah yang mengalami kerusakan untuk keperluan penanganan lebih lanjut.
Contoh studi selanjutnya barangkali berkaitan langsung dengan kasus pertambangan, dimana Lévesque dan King (1999) memanfaatkan semivarians dari citra hasil teknologi kamera digital airborne untuk mengevaluasi kerusakan struktural hutan di lokasi yang diduga mengandung air asam tambang (acid mine site). Daerah studi merupakan suatu hutan di hilir daerah pembuangan tailing (limbah) logam berat mengandung asam dari salah satu area pertambangan di Ontario, Kanada. Daerah tersebut menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti ukuran daun yang tidak seragam, berubahnya warna daun, matinya cabang-cabang di pohon, dan peningkatan bukaan kanopi hutan. Teknologi inderaja resolusi tinggi memiliki potensi untuk mengevaluasi kerusakan-kerusakan tersebut secara spasial dan temporal. Secara khusus, tekstur citra dapat digunakan dalam pemodelan hutan dan variasi struktur tumbuhan yang mungkin dipengaruhi oleh keberadaan air asam tambang.
Dengan melakukan inventarisasi kerusakan lingkungan secara terintegrasi, bukan tidak mungkin akan menunjukkan bahwa kerusakan hutan akibat penebangan liar dan kebakaran hutan memiliki kontribusi terbesar di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan pertambangan mestinya juga memiliki kontribusi dalam kerusakan lingkungan, tapi semua itu akan ditebus dengan melakukan rehabilitasi dan reklamasi. Lain halnya dengan penebangan liar dan kebakaran hutan, karena tidak ada yang bisa dikenai pertanggungjawaban untuk melakukan rehabilitasi selain pemerintah sendiri. Selain itu, beberapa kasus kerusakan atau pencemaran lingkungan akibat kegiatan pertambangan sebaiknya dilihat secara terintegrasi melalui studi lapangan yang detil. Sebagai contoh kasus pencemaran Teluk Buyat yang diduga akibat pembuangan tailing PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) di laut. Untuk mendeteksi sumber pencemaran di Teluk Buyat tersebut harus dilakukan pengambilan perconto (sampling) yang mewakili berbagai komponen ruang geologi dan geografi yang ada. Metode estimasi spasial seperti geostatistik dikenal cukup handal dalam menggambarkan peta distribusi spasial suatu variabel teregional seperti kadar logam dalam perconto (sample) air, batuan, sedimen atau tanah. Lin et al. (2002) dalam studinya menggunakan kombinasi metode kriging faktorial, kriging indikator, dan SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk mendelineasi variasi spasial dan sumber polusi dari tanah yang terkontaminasi logam berat Cd, Cr, dan Cu di sebelah utara Changhua County, Taiwan. Dengan demikian sumber-sumber pencemaran Teluk Buyat seharusnya dapat diestimasi secara kuantitatif apakah benar disebabkan oleh pembuangan limbah PT. NMR, atau disebabkan oleh aktivitas tambang rakyat ilegal, atau justru terjadi akibat faktor alamiah berdasarkan kondisi geologi yang ada.
4. Kontribusi Pertambangan dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Secara umum, komitmen dan kontribusi pertambangan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya dapat dilihat dari program Community Development (ComDev) yang telah dituangkan dalam dokumen AMDAL dan juga Studi Kelayakan (FS). Dalam usulannya, ComDev semestinya sudah meliputi aspirasi masyarakat yang akan terkena dampak kegiatan pertambangan yang ada. Kalau dalam pelaksanaannya ada yang menyimpang atau kurang sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat, maka pihak pemerintah wajib menegur pelaku pertambangan yang bersangkutan.
Primahendra (2004) dalam artikel singkatnya menyebutkan bahwa Community Development (ComDev) yang oleh para praktisi pembangunan sering diterjemahkan sebagai pembangunan masyarakat, pengembangan masyarakat, maupun pemberdayaan masyarakat, merupakan sebuah wacana pendekatan pembangunan yang telah dimulai sejak periode 1960-an. Periode dimana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia (PD) II dan mulai menapak jalan kesejahteraan. Pada periode itu, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan mulai mendapatkan perhatian kalangan yang lebih luas dan mendorong berkembangnya wacana dan praktek ComDev. Dari aspek keterlibatan masyarakat, praktek ComDev dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu: (1) development for community, (2) development with community, dan (3) development of community. Mengenai perbedaan pengertian diantara ketiga kelompok ComDev tersebut, dapat dilihat pada Tabel 1.
Lebih lanjut Primahendra (2004) menyatakan bahwa ketiga pendekatan tersebut pada dasarnya memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu memperbaiki kualitas kehidupan dan kelembagaan masyarakat lokal. Perbedaan yang ada lebih berada pada sarana (means) yang dipakai. Efektivitas sarana ini sangat ditentukan oleh konteks dan karakteristik masyarakat yang dihadapi. Pada masyarakat tertentu mungkin pendekatan development for community lebih sesuai, sementara pada masyarakat yang lain development with community justru yang dibutuhkan. Faktor utama yang menentukan pemilihan ketiga pendekatan tersebut adalah seberapa jauh kelembagaan masyarakat telah berkembang. Pada masyarakat yang kelembagaannya sudah lebih berkembang, development of community akan lebih tepat. Dengan demikian untuk kondisi masyarakat kita di Indonesia yang masih belum bisa dikatakan sebagai masyarakat maju secara umum maka ComDev jenis (1) atau (2) yang paling tepat diterapkan, apalagi masyarakat di sekitar kawasan pertambangan.
Sudah banyak terbukti bahwa industri pertambangan di Indonesia memperhatikan konsep ComDev ini. Sebagai salah satu contoh adalah PT. Kaltim Prima Coal (KPC), sebuah perusahaan tambang batubara terbesar di Indonesia sejak awal sudah punya komitmen dengan ComDev tersebut. KPC membantu pelaksanaan ComDev dalam lima hal, yaitu:
1. Pengembangan industri kecil, yang menyediakan pelatihan dan kredit berbunga rendah untuk industri kecil, dengan tujuan industri kecil tersebut dapat mandiri.
2. Program kesehatan, bertujuan untuk menyediakan imunisasi dan pencegahan berbagai penyakit kronis pada umumnya, seperti TBC, malaria, dan demam berdarah.
3. Program infrastruktur, meliputi pembangunan jalan, sekolah, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, dan perumahan.
4. Pendidikan dan beasiswa, dengan menyediakan tunjangan kepada para guru untuk pindah ke daerah Sangatta dan beasiswa untuk murid-murid yang kurang mampu.
5. Pelatihan pertanian, untuk mempersiapkan petani-petani lokal dengan penyediaan investasi awal dan pelatihan untuk menjadi petani yang mandiri.
Program-program tersebut dipaparkan secara lebih detil pada KPC 2004 Sustainability Report. Kerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat, LSM-LSM dan pemerintah daerah merupakan hal yang sangat penting untuk kesuksesan program-program ComDev yang dilaksanakan oleh pihak KPC. Dikatakan pula bahwa hubungan kerja sama tersebut telah membantu KPC dalam menentukan anggaran untuk kesejahteraan masyarakat. Sampai saat ini KPC telah mengeluarkan dana sebesar 13 juta dolar AS untuk program ComDev di Kalimantan Timur dan masih berlanjut untuk merencanakan inisiatif tersebut dengan anggaran sebesar 5 juta dolar AS per tahun.
Selain KPC, contoh lain komitmen industri pertambangan terhadap kesejahteraan masyarakat telah ditunjukkan oleh PT. Freeport Indonesia (PTFI). Sebagai sebuah perusahaan pertambangan kelas dunia, sejak tahun 1996 PTFI bersama dengan mitra usahanya membuat komitmen untuk mengalokasikan satu persen dari pendapatan kotornya bagi kepentingan masyarakat setempat melalui Dana Kemitraan Freeport bagi Pengembangan Masyarakat, yang sebelumnya bernama Dana Freeport bagi Pengembangan Irian Jaya. Kontribusi untuk dana kemitraan tersebut mencapai 19 juta dolar AS pada tahun 2004, dan jumlah keseluruhan sejak dana dibentuk mencapai 152 juta dolar AS. Dalam rangka mengembangkan komitmen untuk menjalin dan memelihara hubungan yang konstruktif dan positif dengan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan, PTFI terus berdialog dengan para pimpinan adat setempat. Dengan dialog semacam itu, berbagai kesepakatan penting telah dicapai misalnya dengan masyarakat Amungme dan Kamoro. Sebuah nota kesepahaman (memorandum of understanding atau MOU) yang ditandatangani pada tahun 2000 oleh organisasi masyarakat Amungme dan Kamoro bersama PTFI menekankan perhatian pada permasalahan sumberdaya sosial ekonomi, hak asasi manusia, hak ulayat, dan lingkungan hidup. Kesepakatan bersejarah tersebut dicapai setelah melalui proses negosiasi selama lima tahun, mendorong adanya dialog berkesinambungan untuk meningkatkan saling pengertian dan penghargaan sehingga memungkinkan masyarakat setempat mewujudkan aspirasinya serta memelihara hubungan yang harmonis.
Menurut PTFI, pelatihan, pengembangan dan kelanjutan pendidikan merupakan komponen penting guna menjamin efisiensi operasi jangka panjang dalam bidang usaha apa pun. Hal-hal tersebut menjadi semakin penting ketika perusahaan beroperasi di suatu kawasan yang baru berkembang, di mana tidak terdapat program-program pendidikan tinggi. Program-program pelatihan kerja di Papua seharusnya memberikan lebih dari sekedar pengembangan teknik keterampilan belaka. PTFI menyediakan lebih banyak pelatihan dalam kelas dan magang yang tidak terdapat pada kebanyakan perguruan tinggi. Jangkauan program-program pelatihan dimulai dari program pengenalan huruf dan berhitung dasar hingga tingkat pra-magang bagi perorangan yang belum pernah mengikuti pelatihan karir, magang teknik tingkat lanjutan, pengembangan karir dan kepemimpinan, serta program-program pengelolaan bisnis yang memberi keterampilan tingkat dunia kepada para pekerja tambang PTFI. Program pelatihan dan pengembangan karyawan secara giat dilakukan untuk memberikan keterampilan dan menciptakan lapangan kerja bagi ratusan warga Papua setempat setiap tahun. Pada tahun 1996, PTFI sudah bertekad meningkatkan secara signifikan program pelatihan dan pendidikan. Perusahaan tersebut berupaya melipatgandakan jumlah karyawan asal Papua hingga tahun 2001, dan menggandakan jumlah tersebut hingga tahun 2006. PTFI juga bertekad melipatgandakan jumlah karyawan asal Papua pada jenjang profesional dan manajemen. Kedua sasaran tersebut berhasil dilampaui, bahkan sebelum waktu yang ditargetkan. Pada akhir tahun 2004, PTFI dan sub-kontraktor langsungnya mencatat jumlah karyawan asal Papua sebanyak 2.420 orang, dibanding 600 orang pada tahun 1996 termasuk 218 karyawan staf manajemen, dibanding kurang dari 50 orang pada tahun 1996. Sejumlah 1.000 karyawan asal Papua lainnya dikaryakan oleh perusahaan mitra yang memberikan jasa pelayanannya kepada PTFI.
Sebagai bagian dari komitmen perusahaan kepada masyarakat di sekitar wilayah operasinya, PTFI memberikan dukungan bagi pengembangan usaha lokal karena pertumbuhan ekonomi setempat akan meningkatkan taraf hidup masyarakat. PTFI pun menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dan kewirausahaan setempat penting artinya bagi pencapaian pembangunan berkelanjutan. Proses tersebut memiliki persamaan dengan program reklamasi, yaitu perusahaan menanamkan benih, yang tumbuh menjadi tanaman yang membuahkan lebih banyak benih lagi dan akhirnya membentuk ekosistem yang subur. Dengan muncul dan meluasnya usaha-usaha setempat, maka tercipta lebih banyak lagi peluang kerja, lebih banyak upah, lebih banyak pembelanjaan, yang berujung pada perolehan pendapatan yang lebih besar guna mendukung tumbuhnya usaha baru. Dukungan perusahaan terhadap bisnis setempat tidak terbatas pada pemberian modal dan penyediaan keterampilan berusaha. PTFI juga bertekad untuk mempekerjakan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) setempat dengan memadukannya ke dalam mata-rantai pasokan perusahaan tambang tersebut. PTFI sepertinya menyadari nilai yang dibawa usaha tersebut bagi perekonomian setempat, bukan saja dalam kapasitas sebagai pemberi kerja dan sumber modal, akan tetapi juga sebagai pemasok lokal. Menurut data dari survei ekonomi yang dilakukan Kabupaten Mimika, wilayah administratif tempat perusahaan tersebut beroperasi, hampir 500 dari 650 UKM yang terbentuk di daerah tersebut berkaitan langsung dengan kegiatan pertambangan.
Beberapa contoh program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang telah dan sedang dilakukan oleh KPC dan PTFI menunjukkan bahwa mereka memang punya komitmen yang nyata, tidak hanya janji yang muluk-muluk. Kalau memang pada kenyataannya masih terdapat kekurangan di sana-sini dalam arti mungkin program ComDev yang dilaksanakan kurang merata, maka industri pertambangan harus merespon hal tersebut dan lebih meningkatkan lagi cakupan programnya. Pemerintah daerah barangkali merupakan mediator yang paling tepat berkaitan dengan pengaduan masyarakat jika terjadi penyimpangan atau kekurangmerataan dalam pelaksanaan program ComDev yang dilakukan oleh industri pertambangan. Sehingga contoh kasus kelaparan penduduk Yahokimo beberapa waktu lalu seharusnya tidak terjadi, kalau pemerintah daerah yang bersangkutan sudah respek terhadap pokok permasalahan yang ada. Juga peristiwa Abepura Berdarah untuk menuntut penutupan PTFI yang baru saja terjadi pada tanggal 16 Maret 2006 lalu seharusnya bisa dihindari kalau masyarakat mau dan mampu memperhatikan secara betul permasalahan yang ada. Jika diperlukan PTFI sebaiknya mengalokasikan lebih dari satu persen pendapatan kotornya untuk mencakup tidak hanya masyarakat di Mimika tapi juga masyarakat wilayah lain di Provinsi Papua, mengingat tanah yang sedang dikelola oleh PTFI saat ini bukan hanya milik penduduk Mimika secara khusus, melainkan juga milik rakyat Papua secara umum. Jadi wajar kondisinya kalau masyarakat selain di Mimika berhasrat untuk ikut menikmati hasil dari kegiatan pertambangan terbesar di wilayah Asia Pasifik tersebut. Juga sebaliknya masyarakat Mimika pada khususnya dan Papua pada umumnya yang sudah menikmati apa yang diterima sebagai haknya, sebaiknya tidak menuntut terlalu banyak dalam kapasitas yang kurang proporsional.
5. Pertambangan di Indonesia Membawa Manfaat atau Mudharat?
Pertanyaan sederhana dapat kita kemukakan ke publik tentang apakah pertambangan di Indonesia membawa manfaat atau mudharat. Tapi mungkin permasalahannya tidak sesederhana itu mengingat kita harus mengkaji lebih teliti lagi kenapa pertambangan dikatakan bermanfaat dan kenapa juga ada yang mengatakan tidak atau justru merugikan. Kalau di luar negeri, barangkali semua kegiatan pertambangan dapat dikatakan bermanfaat atau sangat bermanfaat, tapi kenapa di Indonesia ada sebagian anggota masyarakat yang mengatakan pertambangan justru merugikan dan kalau perlu sesegera mungkin ditutup. Terus pertanyaannya adalah apa permasalahan mendasar yang sebenarnya, apa yang salah dengan negeri yang kaya dengan berbagai sumberdaya alam ini, kenapa di negara ini pertambangan dipandang sebagai sesuatu yang jelek dan merugikan padahal di negara tetangga tidak. Sebagai contoh di negara tetangga kita, Papua New Guinea yang menurut situs Global InfoMine dijuluki sebagai CountryMine. Negara yang kondisi geografisnya tidak berbeda dengan Provinsi Papua tersebut tentu saja juga kaya akan sumberdaya mineral emas, tembaga, dan perak, serta di sana terdapat tidak kurang dari 26 perusahaan tambang terkemuka di dunia yang saat ini aktif melakukan aktivitasnya tanpa masalah.
Dengan demikian permasalahan pertambangan di Indonesia sebenarnya dapat ditelusuri secara historis, karena kemungkinan besar hal ini berkaitan dengan berbagai aspek termasuk sosial budaya atau kultur masyarakat dan bukan tidak mungkin aspek politik juga memiliki peranan besar. Kalau sudah sedemikian kompleks permasalahan yang ada, maka mau tidak mau solusi terbaik adalah semua pihak terkait duduk bersama untuk memutuskan jalan keluar yang terbaik dan tidak merugikan satu sama lain (win win solution), meskipun hal ini tentu saja tidak mudah dilakukan. Karena cara-cara represif dan anarkis tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada, tapi justru akan menimbulkan masalah baru.
PTFI adalah yang selama ini paling dipermasalahkan dan disorot semua publik di Indonesia. Entah karena Freeport McMoRan Copper & Gold, Inc. sebagai pemegang saham terbesar perusahaan tersebut merupakan milik Amerika Serikat atau karena alasan yang lain, tapi yang jelas permasalahan PTFI tersebut tidak akan selesai sampai kapan pun kalau masih ada salah satu pihak atau komponen masyarakat terkait yang merasa belum terakomodasi aspirasinya. Tapi yang jelas PTFI sudah memberi manfaat langsung maupun tidak langsung yang cukup besar bagi pemerintah di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten, serta bagi perekonomian Papua dan Indonesia secara keseluruhan. Manfaat langsung termasuk kontribusi lazimnya suatu perusahaan kepada negara, meliputi pajak, royalti, dividen, iuran, dan dukungan langsung lainnya. PTFI merupakan penyedia lapangan kerja swasta terbesar di Papua dan sebagai salah satu wajib pajak terbesar di Indonesia. Pada tahun 2004, saat perusahaan mengalami angka penjualan logam yang cukup rendah, PTFI membayarkan 260 juta dolar AS dalam bentuk pajak, royalti, dividen, dan iuran. Sejak tahun 1992 dari segi finansial, manfaat langsung bagi Indonesia telah mencapai jumlah 2,6 milyar dolar AS.
Kontribusi tidak langsung PTFI bagi Indonesia lebih besar jumlahnya dan meliputi hal-hal seperti investasi lebih dari 4,6 milyar dolar AS untuk membangun prasarana perusahaan di Papua, termasuk kota-kota, sarana pembangkit listrik, pelabuhan dan bandar udara, jalan, jembatan, terowongan, sarana pembuangan limbah, sistem komunikasi modern, dan prasarana tetap lainnya yang sebagian besar akan menjadi milik pemerintah Indonesia pada akhir masa kontraknya. Investasi sebesar lebih dari 360 juta dolar AS dalam bentuk prasarana sosial yang secara langsung memberi manfaat bagi masyarakat setempat, seperti sekolah, rumah sakit, klinik kesehatan, perkantoran, tempat ibadah, sarana rekreasi, dan pengembangan usaha kecil dan menengah. Selain itu juga penyediaan lapangan kerja secara langsung dari PTFI bagi sekitar 7.900 orang pada tahun 2004. Dari jumlah tersebut, hampir 2.000, atau 25 persen adalah putera daerah Papua. Pembayaran upah bagi karyawan PTFI sendiri telah mencapai lebih dari 950 juta dolar AS sejak tahun 1992.
Kegiatan pertambangan di wilayah Mimika tersebut juga menyediakan lapangan kerja bagi karyawan kontrak, perusahaan mitra dan lainnya yang melayani kebutuhan PTFI, yang jumlahnya mencapai 10.800 pekerja pada tahun 2004. Hal ini berarti bahwa jumlah orang yang dipekerjakan atau melayani kegiatan PTFI pada akhir tahun 2004 kurang lebih mencapai 18.700 orang. Juga pembelian barang dan penggunaan jasa dalam negeri mencapai lebih dari 3,3 milyar dolar AS sejak tahun 1992. Kontribusi langsung maupun tidak langsung yang menghasilkan efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian di Indonesia memicu lebih banyak lagi lapangan kerja, upah, pembelian, dan kegiatan ekonomi. Pada tahun 2003, PTFI telah menugaskan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM-UI) dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia untuk melakukan pengkajian dampak ekonomi adanya efek berganda dari kegiatan PTFI terhadap Papua dan Indonesia sejak tahun 1992. Para pakar ekonomi tersebut menemukan bahwa keseluruhan manfaat ekonomi langsung PTFI bagi Indonesia dan Papua diperkirakan mencapai 3 milyar dolar AS pada tahun 2004 saja, dan 33 milyar dolar AS dari tahun 1992 sampai 2004. Hal ini mewakili hampir 2 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, serta lebih dari 55 persen PDRB Papua.
Selain itu, sejak tahun 1996, PTFI telah mengalokasikan sebagian dari pendapatannya untuk dimanfaatkan masyarakat setempat melalui Dana Kemitraan Freeport bagi Pengembangan Masyarakat. Dana tersebut telah membantu membangun berbagai sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, perumahan dan sarana umum di dalam wilayah operasi PTFI di Papua. Dana tersebut juga mendukung serangkaian program menyeluruh di bidang kesehatan, pendidikan dan pelatihan, serta prakarsa pengembangan usaha skala kecil agar masyarakat Papua memperoleh manfaat dari perkembangan ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut. Kontribusi terhadap dana kemitraan, termasuk bagian PT. Rio Tinto Indonesia selaku mitra usaha patungan PTFI, mencapai jumlah 19 juta dolar AS pada tahun 2004, dan jumlah total kontribusi bagi dana tersebut mencapai hampir 152 juta dolar AS sejak awalnya. Manfaat finansial dari kegiatan PTFI bagi masyarakat dan Pemerintah Indonesia ditunjukkan pada Tabel 2 untuk tahun 2004 dan jumlah kumulatif dari tahun 1992 sampai 2004.
Demikian sekilas gambaran tentang perhatian dan kontribusi PTFI selama ini kepada negara dan rakyat Indonesia yang sudah sewajarnya kita hargai sesuai proporsinya. Kalau misalnya kita menuntut PTFI untuk berkontribusi lebih banyak lagi, maka kita sebaiknya mengkaji lagi apakah tuntutan kita tersebut sudah proporsional atau belum. Jika memang tuntutan tersebut memiliki urgensi yang tinggi, maka pemerintah pusat wajib memperhatikan aspirasi tersebut, serta selanjutnya meneruskan atau melakukan negosiasi dengan PTFI dalam menanggapinya.
6. Diskusi
Dalam bab diskusi ini akan dibahas berbagai isue negatif yang berhembus di tanah air beberapa tahun terakhir ini berkaitan dengan nasib pertambangan di Indonesia. Sebagai contoh, WALHI dalam situsnya mencatat bahwa pertambangan di Indonesia bersifat eksploitatif dan merusak, serta secara umum memiliki lima dampak negatif sebagai berikut:
- Menciptakan bencana lingkungan.
- Menghancurkan sumber-sumber kehidupan masyarakat.
- Memicu kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan.
- Memicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan meningkatkan militerisme. - Beberapa kasus pelanggaran HAM sering terjadi di sekitar wilayah operasi pertambangan.
Penulis ingin memberikan pandangan dan tanggapan terhadap lima dampak negatif di atas poin per poin. Barangkali WALHI harus mengklasifikasikan lebih rinci pertambangan mana di Indonesia yang bersifat eksploitatif dan merusak. Tanpa rincian yang jelas, maka terkesan WALHI mencap semua kegiatan pertambangan di Indonesia adalah merusak, dan hal ini tentu saja tidak benar dan tidak adil. WALHI sebaiknya melihat secara langsung kegiatan pertambangan mana yang merusak dan mana yang sudah berjalan sesuai aturan yang berlaku. Secara akademik, semua kajian yang berkaitan dengan pertambangan diajarkan secara formal di perguruan tinggi. Jadi suatu hal yang mustahil kalau perguruan tinggi bidang pertambangan mengajarkan bahwa pertambangan dilakukan dengan merusak lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan sudah pasti tidak dapat dihindari dalam kegiatan pertambangan mengingat kegiatan ini bersifat kompleks dan padat modal. Tapi yang terpenting adalah bagaimana suatu kegiatan pertambangan dilakukan dengan meminimalkan kerusakan lingkungan yang harus terjadi dan kompensasi yang harus dibayar.
Memang benar bahwa pemanfaatan sumberdaya mineral haruslah dilakukan secara bijaksana dan haruslah dipandang sebagai aset alam sehingga pengelolaannya pun harus mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang. Namun perlu diketahui bahwa sumberdaya mineral memiliki sifat ekonomi yang unik, karena nilai ekonominya tergantung kebutuhan dan pasar internasional yang sifatnya sesaat dan tidak berjangka panjang. Jadi belum tentu nilai ekonomi suatu sumberdaya mineral di masa mendatang bisa stabil atau bahkan meningkat, mungkin justru ada kecenderungan menurun bila kemajuan ilmu dan teknologi di bidang material sudah mampu menciptakan mineral-mineral tiruan. Jadi pengelolaan sumberdaya mineral yang mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang sepertinya kurang relevan jika ditinjau dari sifat ekonomi sumberdaya mineral.
Memang benar bahwa tidak jarang wilayah-wilayah konsesi pertambangan tumpang tindih dengan wilayah hutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat. Seperti sudah dipaparkan di bab 2 bahwa secara geologi sumberdaya mineral primer seperti emas, perak, tembaga, besi, dll. terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan magma yang pada masa sekarang terbentuk sebagai rangkaian pegunungan. Jadi sudah menjadi kodrat alam bahwa sumberdaya mineral primer terdapat di daerah pegunungan berhutan yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Selain sumberdaya mineral primer, sumberdaya mineral sekunder seperti nikel laterit, bauksit, emas aluvial, pasir besi, dll. meskipun tidak terbentuk di wilayah pegunungan, tapi tidak jarang keberadaannya tumpang tindih dengan keanekaragaman hayati dan juga wilayah-wilayah hidup masyarakat adat lainnya.
Sungguh disayangkan pernyataan WALHI yang menyatakan bahwa operasi pertambangan di seluruh Indonesia menciptakan kehancuran dan pencemaran lingkungan. Sekali lagi WALHI terkesan emosional dan menyamaratakan kondisi pertambangan umum di Indonesia secara tidak proporsional. Sebelum tahap konstruksi atau seiring dengan tahap studi kelayakan, calon pelaku pertambangan diwajibkan melakukan studi AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh suatu institusi independen, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, serta Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Direktorat Geologi dan Sumberdaya Mineral (DGSDM), Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral juga secara periodik mengirimkan stafnya sebagai pengawas tambang, begitu juga dengan pengawas lingkungan dari pemerintah daerah setempat. Jadi hampir tidak ada alasan sedikit pun yang mengindikasikan bahwa kegiatan pertambangan menciptakan bencana lingkungan. Bencana lingkungan dan kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh penebangan hutan secara liar atau oleh ulah para pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) barangkali jauh lebih parah dibandingkan dengan kerusakan oleh kegiatan pertambangan. Lalu kenapa hanya pertambangan yang selalu disoroti dan dikambinghitamkan. Kota Jakarta setiap tahun pada saat musim penghujan selalu menjadi langganan banjir yang mungkin disebabkan oleh ketidakseimbangan penggunaan lahan baik di daerah hulu dan hilir, serta banjir-banjir besar dan tanah longsor yang banyak melanda berbagai kota dan memakan banyak korban jiwa dan harta benda di Pulau Jawa pada awal tahun 2006 ini. Kenapa WALHI tidak menganalisis kasus-kasus tersebut sedetil seperti menganalisis kasus di pertambangan. Tidak berlebihan bila kita katakan bahwa nasib pertambangan di Indonesia sungguh ironis.
WALHI juga mengangkat permasalahan berkaitan dengan wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal yang telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Masalah tersebut semestinya tidak akan terjadi jika AMDAL pertambangan sudah dilakukan sesuai prosedur dan melibatkan semua pihak yang berkompeten. Masyarakat adat dan lokal dapat dijadikan sebagai mitra atau dilibatkan secara langsung selama usaha pertambangan berlangsung, dan hal ini tergantung pada pendekatan sosial budaya yang dilakukan pihak pengembang kepada masyarakat setempat. Jadi semestinya tidak ada masalah besar berkaitan dengan masyarakat adat dan lokal, asal semua hak-hak masyarakat tersebut diperhatikan secara baik dan bijaksana. Masalah utama adalah adanya tumpang tindih wilayah pertambangan dan wilayah hutan. Hal ini sudah menjadi kodrat alam dan tidak bisa dihindari dalam kondisi apa pun dan dimana pun. Dalam hal ini ilmu genesa bahan galian menjadi dasar yang sangat penting karena dengan mempelajari genesanya, dapat direkomendasikan metode penambangan yang paling tepat baik dari aspek teknis maupun ekonomis. Jadi kita tidak bisa memaksakan suatu bahan galian yang prospektif digali secara tambang dalam atau bawah tanah (untuk tujuan menghindari kerusakan terhadap hutan) jika secara teknis dan ekonomis hal tersebut tidak memungkinkan. Untuk mempelajari permasalahan tumpang tindih lahan tersebut, seringkali digunakan analisis cost-benefit. Memang lahan bekas lokasi tambang tidak bisa direhabilitasi ke kondisi semula, tapi bisa dialihkan fungsinya ke dalam bentuk yang lain, misalnya sebagai area geo-wisata, museum atau laboratorium alam pertambangan dan lain sebagainya.
Pernyataan WALHI mengenai kegiatan pertambangan yang memicu kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan terlalu berlebihan tanpa fakta yang mendasar. Memang ada beberapa anggapan bahwa kegiatan pertambangan terutama tambang emas tidak bisa dipisahkan dari kegiatan prostitusi. Tapi anggapan tersebut tidak seratus persen benar, karena kegiatan prostitusi dapat ditemukan dimana pun dan sampai kapan pun, tidak harus berkaitan dengan kegiatan pertambangan. Intinya semua yang berkaitan dengan urusan prostitusi itu berkaitan dengan urusan personil atau orang per orang. Justru kegiatan pertambangan dapat mengangkat harkat masyarakat sekitarnya termasuk perempuan melalui fasilitas tempat pendidikan, pelatihan, unit usaha, ibadah, kesehatan, olah raga, dan masih banyak fasilitas lain yang disediakan oleh industri pertambangan untuk masyarakat sekitarnya.
Terlebih lagi pernyataan yang menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan memicu terjadinya pelanggaran HAM dan meningkatkan militerisme. Penulis sangat menyayangkan pernyataan WALHI yang sepertinya selalu didasari sikap emosional dan over acting tersebut. Kalau yang dimaksud WALHI tersebut barangkali kasus yang terjadi di PT. Freeport Indonesia (PTFI), tapi mengapa selalu membawa-bawa nama pertambangan di Indonesia secara umum. Apakah industri pertambangan di Indonesia itu hanya PTFI saja. WALHI seharusnya mempelajari kasus per kasus sebelum mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dan kurang proporsional tersebut. Barangkali kalau misalnya terjadi kasus pelanggaran HAM di sekitar wilayah operasi pertambangan (dari PTFI), kemungkinan hal ini berkaitan dengan faktor internal misalnya ada sebagian masyarakat sekitar yang merasa hak-haknya terabaikan. Tetapi hal-hal semacam ini seharusnya bisa diselesaikan secara internal juga, melalui pendekatan sosial yang bijaksana. Khusus untuk kasus di PTFI, kita tidak bisa seratus persen menyalahkan pihak PTFI, melainkan harus dipelajari dahulu kasusnya secara cermat. Barangkali beberapa masyarakat yang merasa dirugikan atau dilanggar HAM-nya tersebut hanya selalu menuntut haknya saja tanpa memikirkan kewajibannya sebagai masyarakat yang baik.
Lebih jauh WALHI menyerukan bahwa dengan melihat berbagai dampak yang ditimbulkan oleh operasi pertambangan, maka pemberian ijin baru pertambangan harus ditutup, dilakukan pembersihan (clean up) dan rehabilitasi lingkungan hidup yang rusak serta pemulihan kembali hak-hak masyarakat adat dan lokal yang terkena dampak operasi pertambangan. Hal ini jelas kurang relevan dengan kondisi umum yang ada di Indonesia terutama kondisi di sekitar kawasan pertambangan yang sebenarnya. Sekali lagi WALHI terkesan hanya menyoroti kasus di PTFI, tetapi kemudian membuat pernyataan yang berlaku umum.
7. Penutup
Masa depan industri pertambangan tampaknya tergantung dari nasibnya saat ini yang masih terombang-ambing dalam badai demokrasi yang terjadi di negeri ini. Pertambangan di Indonesia sedang mengalami dilema antara memberikan manfaat atau justru memberikan mudharat, tetapi hal ini tentu saja tergantung sudut pandang masing-masing pihak yang mengamati. Ada baiknya kita juga membandingkan dengan sudut pandang terhadap pertambangan di negara lain. Kalau misalnya kesalahan atau kesalahpahaman ada di pihak pengambil keputusan (pemerintah), kenapa yang selalu dikambinghitamkan adalah pelaku pertambangan. Tumpang tindih kegiatan pertambangan dengan wilayah hutan lindung dan tanah hak ulayat rakyat merupakan isu utama atau isu pokok yang sering muncul disamping isu-isu lain atau isu ikutan seperti pencemaran lingkungan dan pelanggaran HAM. Jadi dapat disimpulkan bahwa isu tentang pertambangan sudah melebar menjadi isu yang sangat kompleks dan seakan sulit terselesaikan. Dampak kegiatan pertambangan terhadap lingkungan sudah sewajarnya ada, namun secara teknis hal tersebut dapat diatasi dan diminimalisasi baik melalui tahap rehabilitasi maupun reklamasi. Industri pertambangan juga selalu punya komitmen dan kewajiban dalam melakukan pengembangan masyarakat (community development). Kalau ada pihak-pihak tertentu baik itu komponen masyarakat atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang menuntut ditutupnya aktivitas pertambangan di Indonesia karena berbagai alasan di atas, maka sebelum mengemukakan tuntutannya seharusnya mereka memiliki dasar yang yang kuat atau terlebih dahulu melakukan kajian yang detil berkaitan dengan kasus tersebut. Tanpa dasar yang konkrit maka tuntutan mereka kurang proporsional atau tidak pada tempatnya, mengingat industri pertambangan di Indonesia sudah melakukan berbagai komitmen dan kewajibannya sebagai salah satu pelaku ekonomi yang patut diperhatikan peranannya.
Kalau memang permasalahan utama terletak pada aturan perundang-undangan yang berlaku, maka diharapkan sekali bahwa Undang-Undang Mineral dan Batubara yang saat ini masih dalam pembahasan oleh wakil rakyat akan mampu mengakomodasi berbagai permasalahan yang muncul selama ini. Namun jika permasalahan yang ada bukan terletak pada peraturan yang ada, melainkan lebih kepada aspirasi sebagian warga negara, maka jalan satu-satunya untuk menentukan nasib pertambangan di Indonesia yang saat ini seakan mati segan hidup tak mampu, adalah semua pihak harus duduk bersama melakukan musyawarah untuk mencapai mufakat solusi yang tidak merugikan pihak manapun. Hal ini merupakan pilihan sulit tapi barangkali merupakan pilihan terakhir untuk menentukan masa depan pertambangan di Indonesia.
8. Daftar Bacaan
Gitas, I.Z., G.H. Mitri, and G. Ventura: Object-based Image Classification for Burned Area Mapping of Creus Cape, Spain, using NOAA-AVHRR Imagery, Remote Sensing of Environment, Vol. 92 (3), 2004, pp. 409-413.
http://environment.jbpub.com/mckinney/interactive_glossary_showterm.cfm?term=mineral%20deposit%20: Interactive Glossary Definition for ‘Mineral Deposit’.
http://www.itb.ac.id/news/978: Kuliah Umum Pengetahuan Lingkungan BI-1001 “Kebijakan Lingkungan di Indonesia dan Implementasinya”.
http://www.kaltimprimacoal.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=52: Community Development.
http://www.kompas.com/utama/news/0602/26/203404.htm: Tuntutan Masyarakat Papua.
http://www.miningindo.com/news/view_news.asp?path=indoGNR14_2_2006_14001&secid=GNR&ID=14001: Pertimbangan Investasi Pemda Longgarkan Amdal.
http://www.ptfi.com/: PT. Freeport Indonesia, Affiliate of Freeport-McMoRan Copper & Gold.
http://www.scs.uiuc.edu/~mainzv/exhibit/agricola.htm: From Alchemy to Chemistry: Five Hundred Years of Rare and Interesting Books.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0404/28/nas07.html: Menanggapi Moratorium Pertambangan: Kesalahpahaman pada Pertambangan.
http://www.walhi.or.id/kampanye/tambang/tam_indo_info/#Pertambangan%20di%20Indonesia: Pertambangan di Indonesia.
Lévesque, J. and D.J. King: Airborne Digital Camera Image Semivariance for Evaluation of Forest Structural Damage at an Acid Mine Site, Remote Sensing of Environment, Vol. 68 (2), 1999, pp. 112-124.
Olthof, I., D.J. King, and R.A. Lautenschlager: Mapping Deciduous Forest Ice Storm Damage using Landsat and Environmental Data, Remote Sensing of Environment, Vol. 89 (4), 2004, pp. 484-496.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian.
Primahendra, R.: Community Development: Sebuah Eskplorasi, Info URDI (Urban and Regional Development Institute), Vol. 16, 2004.
Lin, Y.-P., T.-K. Chang, C.-W. Shih, and C.-H. Tseng: Factorial and Indicator Kriging Methods using A Geographic Information System to Delineate Spatial Variation and Pollution Sources of Soil Heavy Metals, Environmental Geology, Vol. 42 (8), 2002, pp. 900-909.
Kumamoto, 24 Maret 2006
Penulis,
M. Nur Heriawan