Mari Bercermin dari Banjir Jakarta!
Kenapa manusia itu sulit sekali mengambil hikmah dari setiap kejadian buruk atau musibah yang menimpanya. Musibah banjir di Jakarta yang konon sudah terjadi sejak zaman Belanda dulu sampai terakhir yang terbesar saat ini belum bisa dipetik hikmahnya sama sekali. Pemerintah dan masyarakat di Jakarta, keduanya sama saja tutup mata dan kuping melihat kondisi Jakarta yang serba ruwet seperti saat ini. Belum ada kesadaran dalam hidup yang mementingkan kepentingan umat.
Kalau memang pemindahan ibukota negara merupakan jalan satu2nya yang terbaik kenapa tidak. Janganlah kita terlalu memaksakan konsep tata wilayah yang nantinya justru menimbulkan banyak pro dan kontra, seperti konsep kota megapolitan misalnya.
Di bawah ini saya kopikan tajuk rencana dari Harian Suara Merdeka online tgl. 6 Februari 2007 sebagai renungan bahwa setiap musibah harus segera diambil hikmahnya. Jangan pernah mengulang hal2 bodoh di masa mendatang kalau tidak ingin menyesal untuk yang kesekian kalinya! Berharap semoga para pemimpin di negeri ini lebih tegas dan bijak dalam segala hal.
---------------------------------------------------------------------------
- Ketika Jakarta lumpuh dalam beberapa hari akibat banjir, pernahkah kita bayangkan berapa triliun rupiah kerugian yang diderita. Kerusakan barang-barang di perumahan dan perkantoran yang terendam air lebih 1,5 meter, termasuk ribuan mobil dan sepeda motor. Kerusakan jaringan infrastruktur seperti telekomunikasi, listrik dan masih banyak lagi. Terhentinya aktivitas bisnis lebih sulit lagi diperkirakan berapa besar nilai kerugiannya. Sementara transportasi darat dan udara pun terganggu jadwalnya bahkan banyak yang dibatalkan. Perdagangan saham sepi sehingga indeksnya melemah. Masih banyak lagi dan sulit dirinci satu per satu.
- Namun yang lebih penting adalah nyawa manusia. Tidak kurang 20 orang tewas akibat bencana banjir yang melanda ibukota. Kalau tak segera diadakan upaya penyelamatan dan penyaluran bantuan bagi para pengungsi maupun warga masyarakat yang rumahnya kebanjiran, maka korban tewas bisa lebih banyak lagi. Kali ini banjir itu memang luar biasa. Tidak saja melanda pemukiman kumuh melainkan juga kawasan elite seperti Kemang dan Kelapa Gading. Tidak hanya melanda daerah pinggiran tetapi juga jalan-jalan protokol seperti Jl Rasuna Said di Kuningan. Dikatakan sebagai siklus lima tahunan namun kenyataannya lebih besar dibanding tahun 2002.
- Banjir tak boleh dibiarkan menjadi ritual tahunan yang dari tahun ke tahun bukan berkurang melainkan malah bertambah parah. Kawasan yang terendam air makin meluas karena sekarang diperkirakan tak kurang 70 persen wilayah Jakarta terkena. Dari foto-foto yang diambil dari udara terlihat betapa parah situasinya. Padahal Jakarta adalah barometer Indonesia. Jakarta adalah pusat segala aktivitas terutama bisnis dan keuangan. Jakarta merupakan kota terbesar sekaligus terpadat dengan jumlah penduduk tak kurang dari 10 juta jiwa. Maka ketika bencana banjir melanda dampaknya luar biasa. Tak boleh sekadar menganggap fenomena alam biasa karena itu cermin perilaku kita.
- Tiap bencana pada dasarnya memiliki hikmah yang sama meskipun secara teknis penjelasannya bisa berbeda. Ada satu hal yang tak akan pernah dipisahkan dari semua itu yakni bagaimana manusia seharusnya belajar dari alam. Akibat ulah manusia juga bencana itu datang dari waktu ke waktu dan semakin parah. Benar bila dikatakan itu bukan murni persoalan Jakarta. Daerah di atasnya seperti kawasan Puncak Bogor yang semakin dibabat sehingga tak lagi banyak memiliki lahan hijau adalah penyebab utama. Ketika daerah resapan air sudah jauh berkurang maka air hujan dengan mudah menggelontor menggenangi Jakarta.
- Tetapi Jakarta juga bukan tanpa masalah. Bahkan masalah itu jauh lebih besar. Lahan kota dihabiskan bangunan beton yang menjulang tinggi atau pun kompleks perumahan. Dari udara terlihat jelas betapa sesak dan padatnya kota itu sehingga nyaris tak menyisakan daerah hijau untuk resapan air. Ditambah lagi dengan semakin sempitnya sungai karena dikepung bangunan liar di sekelilingnya. Sangat disayangkan kesadaran seperti itu hanya muncul sesaat pada saat terjadi bencana seperti sekarang. Setelah itu orang akan kembali kepada kehidupan normal dan melupakan bencana itu. Kita seringkali tak mampu mengambil hikmah sehingga pengatasannya pun kurang serius.
- Padahal nilai kerugian yang triliunan rupiah sangatlah berarti. Bagi rakyat kecil penderitaan tak cukup dirasakan satu dua hari atau satu dua bulan saja. Ketika barang-barang yang menjadi harta kekayaan hilang diterjang banjir maka mereka perlu waktu untuk memperolehnya kembali. Dan ketika kita bicara dalam konteks makro maka nilai kerugian yang luar biasa itu juga amat signifikan. Lalu mengapa tak mudah mengambil pelajaran. Seharusnya kita bercermin dari setiap bencana termasuk banjir yang menenggelamkan Jakarta karena mengingat nilai kerugiannya yang begitu besar. Lalu pertanyaannya, langkah apa yang akan dilakukan nanti?
---------------------------------------------------------------------
Kumamoto, 6 Februari 2007
Nur H.
Kalau memang pemindahan ibukota negara merupakan jalan satu2nya yang terbaik kenapa tidak. Janganlah kita terlalu memaksakan konsep tata wilayah yang nantinya justru menimbulkan banyak pro dan kontra, seperti konsep kota megapolitan misalnya.
Di bawah ini saya kopikan tajuk rencana dari Harian Suara Merdeka online tgl. 6 Februari 2007 sebagai renungan bahwa setiap musibah harus segera diambil hikmahnya. Jangan pernah mengulang hal2 bodoh di masa mendatang kalau tidak ingin menyesal untuk yang kesekian kalinya! Berharap semoga para pemimpin di negeri ini lebih tegas dan bijak dalam segala hal.
---------------------------------------------------------------------------
- Ketika Jakarta lumpuh dalam beberapa hari akibat banjir, pernahkah kita bayangkan berapa triliun rupiah kerugian yang diderita. Kerusakan barang-barang di perumahan dan perkantoran yang terendam air lebih 1,5 meter, termasuk ribuan mobil dan sepeda motor. Kerusakan jaringan infrastruktur seperti telekomunikasi, listrik dan masih banyak lagi. Terhentinya aktivitas bisnis lebih sulit lagi diperkirakan berapa besar nilai kerugiannya. Sementara transportasi darat dan udara pun terganggu jadwalnya bahkan banyak yang dibatalkan. Perdagangan saham sepi sehingga indeksnya melemah. Masih banyak lagi dan sulit dirinci satu per satu.
- Namun yang lebih penting adalah nyawa manusia. Tidak kurang 20 orang tewas akibat bencana banjir yang melanda ibukota. Kalau tak segera diadakan upaya penyelamatan dan penyaluran bantuan bagi para pengungsi maupun warga masyarakat yang rumahnya kebanjiran, maka korban tewas bisa lebih banyak lagi. Kali ini banjir itu memang luar biasa. Tidak saja melanda pemukiman kumuh melainkan juga kawasan elite seperti Kemang dan Kelapa Gading. Tidak hanya melanda daerah pinggiran tetapi juga jalan-jalan protokol seperti Jl Rasuna Said di Kuningan. Dikatakan sebagai siklus lima tahunan namun kenyataannya lebih besar dibanding tahun 2002.
- Banjir tak boleh dibiarkan menjadi ritual tahunan yang dari tahun ke tahun bukan berkurang melainkan malah bertambah parah. Kawasan yang terendam air makin meluas karena sekarang diperkirakan tak kurang 70 persen wilayah Jakarta terkena. Dari foto-foto yang diambil dari udara terlihat betapa parah situasinya. Padahal Jakarta adalah barometer Indonesia. Jakarta adalah pusat segala aktivitas terutama bisnis dan keuangan. Jakarta merupakan kota terbesar sekaligus terpadat dengan jumlah penduduk tak kurang dari 10 juta jiwa. Maka ketika bencana banjir melanda dampaknya luar biasa. Tak boleh sekadar menganggap fenomena alam biasa karena itu cermin perilaku kita.
- Tiap bencana pada dasarnya memiliki hikmah yang sama meskipun secara teknis penjelasannya bisa berbeda. Ada satu hal yang tak akan pernah dipisahkan dari semua itu yakni bagaimana manusia seharusnya belajar dari alam. Akibat ulah manusia juga bencana itu datang dari waktu ke waktu dan semakin parah. Benar bila dikatakan itu bukan murni persoalan Jakarta. Daerah di atasnya seperti kawasan Puncak Bogor yang semakin dibabat sehingga tak lagi banyak memiliki lahan hijau adalah penyebab utama. Ketika daerah resapan air sudah jauh berkurang maka air hujan dengan mudah menggelontor menggenangi Jakarta.
- Tetapi Jakarta juga bukan tanpa masalah. Bahkan masalah itu jauh lebih besar. Lahan kota dihabiskan bangunan beton yang menjulang tinggi atau pun kompleks perumahan. Dari udara terlihat jelas betapa sesak dan padatnya kota itu sehingga nyaris tak menyisakan daerah hijau untuk resapan air. Ditambah lagi dengan semakin sempitnya sungai karena dikepung bangunan liar di sekelilingnya. Sangat disayangkan kesadaran seperti itu hanya muncul sesaat pada saat terjadi bencana seperti sekarang. Setelah itu orang akan kembali kepada kehidupan normal dan melupakan bencana itu. Kita seringkali tak mampu mengambil hikmah sehingga pengatasannya pun kurang serius.
- Padahal nilai kerugian yang triliunan rupiah sangatlah berarti. Bagi rakyat kecil penderitaan tak cukup dirasakan satu dua hari atau satu dua bulan saja. Ketika barang-barang yang menjadi harta kekayaan hilang diterjang banjir maka mereka perlu waktu untuk memperolehnya kembali. Dan ketika kita bicara dalam konteks makro maka nilai kerugian yang luar biasa itu juga amat signifikan. Lalu mengapa tak mudah mengambil pelajaran. Seharusnya kita bercermin dari setiap bencana termasuk banjir yang menenggelamkan Jakarta karena mengingat nilai kerugiannya yang begitu besar. Lalu pertanyaannya, langkah apa yang akan dilakukan nanti?
---------------------------------------------------------------------
Kumamoto, 6 Februari 2007
Nur H.