Tuesday, March 07, 2006

Amien Rais: "Bongkar Kejahatan Freeport"


Tak ada yang berubah dari sosok Amien Rais. Penampilannya yang sederhana, dan keberaniannya dalam mengeritik penguasa, masih tetap melekat pada tokoh reformasi ini. Urusan mengeritik penguasa, Amien tak main-main. Belakangan, lelaki kelahiran Surakarta, 26 April 1944 ini, kembali melakukan gebrakan. Isu lawas soal korupsi, perusakan lingkungan dan penjarahan besar-besaran yang dilakukan PT Freeport, sebuah perusahaan pertambangan asing, kembali ia gulirkan.

Dulu pada tahun 90-an, kritiknya soal Freeport menyebabkan ia
'ditendang' dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) oleh
Suharto. Mengangkat isu ini menurut Amien, ibarat membentur tembok tebal.

Banyak pihak yang terlibat, terutama para pejabat bangsa ini dan kepentingan asing. Kepada wartawan SABILI Artawijaya dan Rivai Hutapea, mantan Ketua MPR-RI ini bicara blak-blakan soal Freeport. Berikut wawancara lengkapnya yang berlangsung di pendopo dekat rumahnya di
Condong Catur, Yogyakarta, pada Selasa (31/01).

Apa yang melatarbelakangi Anda kembali berteriak lantang soal Freeport?

Jadi pada awal reformasi saya betul-betul tidak bisa menerima sebagai anak bangsa, sebagai umat, melihat kelakuan investor asing yang mengeksploitasi kekayaan alam kita lewat industri pertambangan secara sangat ugal-ugalan, sangat tidak masuk akal. Malah waktu itu saya berhasil menguak pertambangan Busang, yang mestinya akan dibuka di Kalimantan, kemudian andaikata penipuan Busang itu menjadi kenyataan, maka mereka bisa menjual saham di New York dengan harga yang aduhai. Sementara sesungguhnya Busang itu pepesan kosong belaka. Kemudian setelah saya dengan izin Allah, berhasil membongkar kebohongan Busang itu, saya mengarahkan bidikan saya ke kejahatan yang dilakukan oleh PT Freeport McMoran disekitar Timika. Saya mendasarkan kritik saya bukan hanya kata si Fulan dan si Fulanah, atau berdasarkan qaala wa qiila, tetapi saya memang datang sendiri ke pertambangan Freeport itu. Bahkan saya sempat menginap disana dan saya relatif sudah menjelajahi selama setengah hari keadaan pertambangan itu. Sebagai seorang anak bangsa saya betul-betul tidak bisa menerima bahwa ada wilayah kita yang diacak-acak oleh perusahaan Amerika secara sangat menghina, karena sebuah gunung sudah lenyap menjadi danau yang sangat jelek. Kemudian entah berapa
luasnya tanah sekitar pertambangan sudah rusak total. Saya juga melihat dengan mata kepala ada pipa besar yang dipasang dari pusat pertambangan di Grasberg disekitar Tembaga Pura itu turun kebawah sepanjang seratus kilometer sampai ke tepi laut Arafura. Kemudian ternyata pipa itu untuk menggotong concentrate atau biji tambang emas, perak dan tembaga yang kita tidak pernah tahu volume atau jumlahnya. Apalagi saya diberi tahu bahwa jelas kali Freeport itu menggelapkan pembayaran pajaknya. Begitu saya mengungkap kenyataan ini sebagai sebuah kenyataan yang bertentangan dengan UUD 45, maka dua minggu kemudian (tahun 1993, red) saya ditendang dari ICMI oleh pak Harto. Setelah itu nampaknya Freeport sebentar melakukan konsolidasi, tidak begitu mencolok mata, bahkan lantas satu persen dari keuntungannya, katanya diberikan kepada masyarakat sekitar. Tapi yang dikerjakan Freepor makin gila, yaitu ada pelipatan wilayah yang dieksploitasi dengan izin pemerintah. Kemudian juga jumlah biji tambang yang diangkut ke luar lebih banyak lagi. Selama saya jadi Ketua MPR hal ini tidak pernah saya pantau. Saya pernah dibujuk oleh James Moffett pada musim panas tahun 1997 waktu saya ada di Washington. Dia terbang ke New Orleans, dan mengiming-imingi saya. Kata dia, kalau mau saya akan diantar naik helikopter untuk tour ke daerah pertambangan Freeport, dan saya akan diberi keterangan bahwa Freeport tidak merusak ekologi atau lingkungan kita. Kemudian pada saat bersamaan saya di New York ketemu dengan Henry Kissinger. Ternyata dia salah satu Komisaris, dan dia dengan diplomasinya mengatakan, "Kalau Anda melihat penyelewengan hukum, maka beri tahu saya. Saya akan mengambil langkah koreksi." Tetapi semua itu tentu saja hanya sandiwara, karena yang terjadi penjarahan Freeport makin gila menjarah kekayaan kita. Karena itu dengan bismillah, nawaitu yang ikhlas, bukan niat oposisi pada pemerintah, mari kita bersama-sama membongkar kejahatan di Freeport ini.

Telah terjadi korupsi yang maha dahsyat di dunia pertambangan?

Korupsi itu diartikan sebagai tindakan yang merugikan negara lewat penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang. Jadi korupsi yang dimengerti oleh KPK dan kita semua sudah betul, yaitu penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi dan merugikan negara. Yang terjadi di Freeport itu memenuhi kriteria itu secara sangat telak. Negara dirugikan dalam jumlah ratusan atau saya yakin ribuan triliun sejak akhir tahun 60-an. Anda bayangkan, sebuah gunung lenyap, kemudian sudah dihitung bahwa volume rampas pertambangan, tailing, tanah, batu kerikil yang terbuang itu sama dengan dua kali kerukan terusan Panama, sekitar 6 miliar ton. Ini sebuah penghinaan nasional. Saya yakin sekali, kalau Freeport sebagai perusahaan pertambangan babon bisa kita benahi, maka yang kecil-kecil seperti Newmont Minahasa, Newmont NTB, perusahaan Gas Tangguh, dan lain-lain akan lebih bisa diperbaiki karena si babon itu telah lebih dahulu dibenahi. Kalo yang babon ini tetap dibiarkan mengacak-acak
kekayaan alam kita, bahkan melakukan penghinaan nasional, maka saya khawatir orang asing akan mencibir kita bahwa pemerintah kita masih seperti dulu, masih bermental inlander, tidak berani mengangkat kepala terhadap asing. Ini tentu meyedihkan sekali. Jadi korupsi maha dahsyat ini harus kita lawan.

Korupsi dahsyat ini tertutup dengan gencarnya pemerintah mengusut korupsi kelas ecek-ecek?

Jadi ramenya pemerintah memberantas korupsi kecil-kecil, yang ratusan juta, yang puluhan juta, sesungguhnya untuk menyembunyikan yang besar-besar. Jadi rakyat kita ini dibodohi oleh pemerintah kita sendiri. Dan memang rakyat kita sudah terkecoh, seolah-olah pemerintah sudah hebat dalam memberantas korupsi. Setelah 15 bulan berkuasa, menurut Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) lagi-lagi kita tetap nomor satu dalam korupsi di kawasan Asia ini. Artinya, korupsi sejati masih tetap berlangsung. Sekarang yang dikejar-kejar hanya korupsi kecil-kecilan, sehingga media massa juga terkecoh, seolah-olah telah terjadi penanganan korupsi secara massif dan sungguh-sungguh. Padahal yang terjadi kucing-kucingan.

Anda pernah mengatakan korupsi di Freeport ini G to G (Goverment to Goverment). Bisa dijelaskan?

Memang ada pembiaran dari pemerintah kita terhadap bisnis yang juga melibatkan pemerintah asing, yang jelas-jelas merusak. Seperti diungkapkan oleh The New York Times, kemudian dimuat secara utuh di The International Herald Tribun tanggal 28-29 Desember 2005. Memang yang mengamankan penjarahan kekayaan bangsa itu adalah aparat keamanan dan
pertahanan kita. Saya tidak mau menyebut nama, tetapi hitam diatas putih dikatakan ada seorang mayor jenderal yang mendapatkan 150.000 US dollar dan ada seorang perwira tinggi kepolisian dapat sekian ratus ribu dollar. Kemudian ada kolonel, mayor, kapten dan prajurit lain dapat amplop dari Freeport untuk mengamankan supaya orang tidak bisa masuk dan mengetahui hakikat kejahatan Freeport itu. Malah ada bukti otentik, sejak tahun 1996 sampai tahun 2004, Freeport mengeluarkan biaya pengamanan 20 juta US dollar yang dibagi ke lembaga. Ini dibayarkan kepada aparat keamanan kita untuk melindungi Freeport yang zalim itu untuk mengeruk kekayaan kita. Ini yang saya heran kenapa kok dibiarkan.

Pemerintah terkesan tunduk pada kepentingan asing?

Ya, memang ada kepentingan asing yang sangat menghina di Freeport ini. Ada dua jenis negara berkembang dalam menghadapi korporatokrasi yang cenderung maling atau klepto. Saya setuju dengan Jhon Perkins bahwa korporatokrasi itu ada tiga pilar, yaitu: Big coorporation, Goverment dan International Bank. Tiga elemen ini berpacu untuk melakukan pengurasan kekayaan dunia ketiga. Nah, disini ada negeri-negeri yang berani mengangkat kepala dan berani
mengatakan No! Terhadap korporatokrasi itu, seperti Thailand, India, RRC, Malaysia. Kita termasuk negeri yang walaupun tidak mengatakan Yes! Tapi tidak pernah mengatakan No! Sehingga begitu enaknya pihak asing menjamah kekayaan negeri kita. Saya pernah ceramah di Melbourne, saya bertanya kepada perusahaan penambangan Australia, apakah salah saya
sebagai orang Indonesia itu mematok bahwa dalam kontrak karya itu royalti yang kita terima itu bukan 15 persen, tapi 50 persen. Mereka mengatakan tidak ada yang salah dengan pendapat itu karena semau tergantung dengan perjanjian. Tapi mengapa kita diam saja diberi 15 persen, itupun saya yakin sekali pembukuannya sudah tidak betul, karena kita tidak tahu apa yang terjadi disana.

Apakah SDM kita sudah mampu mengelola pertambangan, jika kita harus lepas dari Freeport?

Ada wartawan yang mengatakan, pak Amien, bukankah kita sudah diuntungkan, karena mereka punya keahlian, mereka bawa mesin, mereka bawa uang, kemudian kekayaan kita dikeruk, kita dapat 15 persen, ini kan sudah lumayan. Saya katakan, kalau begitu apa bedanya dengan zaman penjajahan. Penjajah itu datang bawa mesin, bawa keahlian, bawa modal,
kemudian kekayaan kita digotong, yang disisakan hanya untuk pantes-pantesan saja.

Sekarang kita sudah 60 tahun merdeka, sehingga Insya Allah sudah punya keahlian. Banyak lulusan dari ITB, UGM dan lain-lain yang mengatakan bahwa Freeport itu adalah pertambangan terbuka, tidak usah menggali perut bumi, tetapi hanya memecah batu-batuan, lantas digerus dijadikan biji tambang, kemudian jadi concentrate, kemudian menjadi batangan emas. Ini sangat mudah. Kata mereka, otak Indonesia itu lebih mampu, mengapa diberikan kepada Freeport.

Pemerintah kita tidak pernah mempersoalkan aspek pelanggaran yang dilakukan oleh Freeport, terutama soal dampak lingkungan?

Saya kembali pada teori hukum yang elementer. Dalam dunia moral dan hukum itu ada dua macam dosa dan kejahatan: Pertama, sin of crime of commission (Melakukan perbuatan dosa atau jahat). Kedua, sin of crime of ommision (Dosa membiarkan kejahatan). Jadi kalau pemerintah kita di depan matanya berlangsung kejahatan yang dilakukan oleh pihak asing, tetapi diam saja, malah memberikan peluang untuk berlangsungnya kejahatan itu, maka pemerintah kita telah melakukan kejahatan atau dosa membiarkan sebuah kejahatan
berlangsung terus menerus. Jadi kalau saya melihat seorang perampok melakukan perampokan lalu saya diam saja, maka saya termasuk melakukan kejahatan ommisi, karena nggak berbuat apa-apa. Saya khawatir pemerintah kita dari masa ke masa kalau terus menjadi pemerintah komprador, yang meladeni kepentingan asing yang merugikan bangsa, maka pemerintah itu
telah melakukan kejahatan. Disadari atau tidak.

Kalau begitu, membongkar Freeport sama dengan mengembalikan martabat bangsa?

Betul! Ini masalah bangsa Indonesia. Jadi saya menggelindingkan masalah besar ini dalam rangka save the nation, menyelamatkan bangsa dan masa depan bangsa. Saya tidak ada kepikiran isu ini menjadi gerakan politik yang remeh temeh, apalagi ada dagag sapi. Itu selain lucu, terhina. Ini adalah proyek besar menyelamatkan bangsa.

Seberapa parah imprealisme yang terjadi dalam kasus Freeport dan lainnya saat ini?

Saya kira cukup parah. Karena imprealisme itu berujung pada sebuah bangsa kehilangan kedaulatan dan kebebasannya untuk membangun dirinya sendiri tanpa bantuan asing. Sekarang ini kita mengetahui bahwa kita kehilangan kedaulatan kita. Untuk memecahkan masalah ekonomi nasional, kita pernah mendatangkan 'dukun' IMF. Sekarangpun utang kita sudah menjerat kita. Sekarang pun di kabinet itu sesungguhnya kembali di zaman IMF. Karena
menteri keuangannya, menteri perdagangan dan Meno Ekuinnya itu orang-orang yang erorientasi pada IMF. Kemudian juga lihatlah, kita ini tidak berani mengangkat kepala menuruti kemauan WTO (World Trade Organization, red). Orang Jepang, orang Perancis, Kanada, Amerika, itu petaninya dilindungi. Tapi disini petani kita begitu tengkurap menghadapi WTO, sehingga apapun kata WTO kita kerjakan. Kita ini jadi bangsa terjajah. Gula kita impor, disuruh impor paha ayam kita lakukan, impor beras, naikan BBM dan lain-lain. Jadi sudah tidak ada kedaulatan lagi. Sehingga kalau dibandingkan dengan pimpinan negara lain seperti Ahmadinejad yang melawan Barat, Mahathir yang berani menegakan kepala terhadap Barat, atau pemerintah Korea Utara yang juga demikian, India, Cina, atau negara-negara Amerika Latinnya. Saat ini dibandingkan negara-negara tersebut, Indonesia menjadi tontonan yang tidak lucu. Negara yang sudah merdeka 60 tahun, tapi mentalitasnya masih seperti inlander. Jadi mari kita kembali menjadi bangsa yang berdaulat, tanpa tekanan pihak manapun.

Apakah ada kepentingan politik pribadi dibalik isu ini, misalnya modal Anda di 2009 nanti?

Pertanyaan Anda sudah banyak ditanyakan. Bahkan ada yang menyatakan, "Pak Amien, Anda membedah soal Freeport ini secara sungguh-sungguh ini, hanya karena menginginkan dana kampanye pilpres 2009 dari pak Ginandjar Kartasasmita?" Saya gembira dengan komentar yang aneh-aneh ini. Tetapi kita diajarkan oleh al-Qur'an, Faidza 'azamta fatawakkal 'alallah, kalau sudah bertekad tinggal bertawakkal pada Allah. Kalau diperjalan ada pro-kontra, ada fitnah, itu sesuatu yang sangat biasa sekali. Nabi yang sempurna saja itu dikatakan majnun, apalagi orang seperti Amien Rais. Al-Qur'an juga menyuruh kita untuk terus melakukan nahyi munkar. Kalau kita dikritik lantas surut, maka yang keenakan ya yang korupsi itu. Menurut saya, era Amien Rais itu sudah berlalu. Belakangan saya banyak mengambil i'tibar (pelajaran, red) bahwa pemimpin itu harus istiqamah, jangan sampai terjangkit penyakit nifaq (munafik, red).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home